Sabtu, 21 Juni 2014

Teori Governance



Teori Governance
Kata governance kini menjadi satu idiom yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali digunakan secara serampangan untuk menjelaskan :  jaringan kebijakan  (policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management, Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994) .

Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik  berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad 14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna proses untuk memerintah atau lebih populer disebut "steering" . Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman "Steuerung" (steering). Perdebatan kosa ini makin populer diawal tahun 80-an, istilah "Steuerung" dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini  terus berkembang, dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi governance sebagai " successful coordination of behavior" . 

Hingga kini perdebatan terhadap terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno  pernah menawarkan sinomim istilah ini dengan "penyelenggaraan". Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing, tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan  oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen diluar pemerintah .  Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai : "thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals "  . 

Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi  :

Pertama, Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja secara bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking, desentralisasi.  

Kedua, Governance sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku - bahkan disebut sebagai hiper pluralitas - untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang makin madiri.

Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan adalah "… kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun  (pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut  harus diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut.." .

Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralisme aktor dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bersama.

Ketiga, Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.

Keempat, terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.

Dari keempat terminologi tersebut dapat ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel.
Berdasarkan pemikiran ini governance adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O'Toole memberikan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser sosial  melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang ada.  

Sementara itu dari perspektif strukturalis sebagaimana argumentasi Lynn, Heinrich dan Hill yang dikutip oleh Frederickson elemen penting notion governance meliputi aras teori kelembagaan (institutionalism) dan teori jaringan (network theory) . 

Pertama, governance berkaitan dengan suatu level kelembagaan (institutional level). Matra ini meliputi sistem nilai,  peraturan-peraturan formal atau informal dengan tingkat pelembagaan yang mantap : bagaimana hirarki ditata, sejauhmana batas-batasnya disepakati, bagaimana prosedurnya, apa nilai-nilai kolektif yang dianut rejim. Yang termasuk dalam konsepsi ini antara lain :  hukum administrasi, dan bentuk peraturan legal lainnya, teori-teori yang berkaitan dengan bekerjanya birokrasi dalam skala luas, teori politik ekonomi, teori kontrol politik terhadap birokrasi. Pada gatra ini terdapat sejumlah teori yang sangat penting : teori kelembagaan (institutional theory), teori perburuan rente (rent seeking), teori  kontrol dari birokrasi, dan dan teori tujuan dan filosofi pemerintah. Pada bagian ini teori governance difokuskan pada tataran-tataran sistem nilai (value). 

Kedua, pada level organisasi dan managerial governance akan berpautan dengan biro-biro hirarki, departemen, komisi dan agen-agen pemerintah  atau juga organisasi-organisasi yang menjalin hubungan kerja dengan pemerintah . Pada tataran ini agenda-agenda : kebebasan dan mandirian administratif, takaran-takaran unjuk kerja dalam proses pelayanan publik, menjadi isu yang penting. Tori-teori yang signifikan untuk menjelaskan fenomena ini antara lain : principal-agent theory, transaction cos analysis theory, collective action theory, network theory. Intinya, pada terminologi kedua ini governance diproyeksikan pada peran mengakselerasikan kepentingan-kepentingan publik (public interest) dalam suatu network antar institusi..

Ketiga, pada level teknis, bagaimana nilai-nilai dan kepentingan publik sebagaimana telah dikemukakan pada pendekatan pertama dan kedua harus dioperasionalisasikan dalam tindakan-tindakan riil. Isu-isu tentang profesionalisme, standar kompetensi teknis, akuntabilitas, dan kinerja (performance) sangat penting dalam konteks ini. Teori-teori yang relevan untuk tema ini antara lain : ukuran-ukuran efesiensi, teknis manajemen budaya organisasi, kepemimpinan, mekanisme akuntabilitas,  dan ukuran. Dengan demikian pada level ini governance lebih banyak berurusan dengan implementasi kebijakan publik pada level operasional (public policy at the street level).

Interpretasi teori governance menurut terminologi diatas merupakan reduksi dari dua pendekatan utama, yaitu teori institusionalisme (institusionalism) dan teori jaringan (network). Governance adalah merupakan pumpunan dari berbagai organisasi-organanisasi publik dimana negara hanya menjadi salah satu elemennya disamping elemen yang lain yang menjalin sebuah networking secara kolektif. Disamping itu karena governance memumpun sejumlah pluralitas organisasi maka kehadiranya juga dibangun oleh berbagai sistem nilai dan norma yang dibawa pada tataran supra organisasi, inter organisasi dan antar organisasi. Dalam konteks ini maka governanace sesungguhnya sarat dengan ikatan-ikatan sistem nilai yang tersedia dalam deposit sistem sosialnya. Administrasi publik dalam konteks ini tidak netral dengan berbagai realitas yang berkembang di ekologinya. Sistem nilai dapat saja berupa nilai-nilai formal yang dikonstruksi oleh pranata-pranata hirarkis dan rasional tapi juga dapat dipengaruhi oleh berbagai varian sistem nilai yang oleh Francis Fukuyama (1999) order sosial demikian juga dibangun secara spontan dan arasional oleh publik. Justru nilai-nilai spontan arasional yang merupakan salah satu elemen kapital sosial inilah yang menyebabkan,  modernisasi dan demokratisasi negara-negara modern di dunia dapat lebih cepat dibanding yang lain. Kini kita telah memasuki sebuah periode kesadaran baru, bahwa  ciri utama interaksi peradaban masyarakat modern  tidak hanya ditentukan oleh order yang bersifat  publik, formal, dan bercorak legal tetapi lebih dari itu juga ditentukan oleh peran-peran yang sifatnya dapat dinegosiasikan (negotiable), bersifat labil, kontur-kontur yang bersifat sangat privat, yang disebut sebagai nilai-nilai informal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar