Teori
Governance
Kata governance kini menjadi satu idiom
yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan juga menjadi konsep payung
dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali
digunakan secara serampangan untuk menjelaskan : jaringan kebijakan
(policy networks, Rhodes: 1997), manajemen publik (public management,
Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan
publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996)
dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan
oleh lembaga-lembaga donor asing (Lefwich, 1994) .
Istilah governance dalam nomenclature
ilmu politik berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar abad
14. Pada saat itu istilah ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat
kerajaan yang menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dibanding bermakna
proses untuk memerintah atau lebih populer disebut "steering" .
Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun
1970-an, untuk menunjuk pada persoalan efektivitas atau kegagalan fungsi
kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa
Jerman "Steuerung" (steering). Perdebatan kosa ini makin populer
diawal tahun 80-an, istilah "Steuerung" dipergunakan dalam perdebatan
sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam
wacana politik Jerman istilah ini dipopulerkan dalam perbincangan politik,
Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam
menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik mempunyai kepekaan
untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan sinonim dari
kata governence. Perdebatan terhadap terminologi ini terus berkembang,
dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang memberikan limitasi
governance sebagai " successful coordination of behavior" .
Hingga kini perdebatan terhadap
terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya
seringkali dilakukan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya,
menjelaskan kesulitan untuk menemukan padanan makna yang memadai, acapkali
penggunaan istilah ini dibiarkan apa adanya, karena sulit dicari padanannya
dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno pernah menawarkan sinomim istilah
ini dengan "penyelenggaraan". Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion
ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk menjalankan fungsi governing,
tetapi juga aktor-aktor lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah
salah satu institusi saja yang menjalankan peran ini. Bahkan dapat terjadi
peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan
dipinggirkan oleh aktor-aktor lain, akibat bekerjanya elemen-elemen
diluar pemerintah . Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilakukan
oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance sebagai : "thinking
about governance means thinking about how to steer the economy and society and
how to reach collective goals " .
Sementara itu dalam konteks reposisi
administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat
terminologi :
Pertama,
Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi
baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together)
secara bersama untuk mengurusi kegiatan-kegiatan publik. Mereka dapat bekerja
secara bersama-sama dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi
pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan
entitas yang secara mandiri mempunyai kekuasaan otonom. Atau dalam ungkapan
Frederickson adalah perubahan citra sentralisasi organisasi menuju citra
organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka bertemu untuk malakukan
perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara
kolektif atau bersama-sama. Kata kunci terminologi pertama ini adalah networking,
desentralisasi.
Kedua, Governance
sebagai tempat berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku - bahkan disebut sebagai
hiper pluralitas - untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang
berkaitan secara langsung atau tidak (stake holders) dapat berupa : : partai
politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kelompok kepentingan, untuk
menyusun pilihan-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan.
Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar
organisasi menjadi, menyebarnya berbagai pusat kekuasaan pada berbagai
pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang
makin madiri.
Sebagaimana dijelaskan Muhadjir
Governance dalam konteks kebijakan adalah "… kebijakan publik tidak
harus berarti kebijakan pemerintah, tetapi kebijakan oleh siapapun
(pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau
jaringan yang melibatkan seluruhnya tersebut untuk mengatasi masalah publik yang
mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan
pemerintah , kebijakan tersebut harus diletakkan sebagai bagian dari
network kebijakan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat
tersebut.." .
Dengan demikian terminologi kedua ini
menekankan, governance dalamm konteks pluralisme aktor dalam proses perumusan
kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting :
seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon tuntutan masyarakat,
seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh
masyarakat dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan
kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh masyarakat dapat mengakses
informasi menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil
kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam
terminologi kedua ini adalah pluralitas aktor, kekuasaan yang makin menyebar,
perumusan dan implementasi kebijakan bersama.
Ketiga, Governance
berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen
publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana relasi multi
organisasional antar aktor-aktor kunci terlibat dalam implementasi kebijakan.
Kerjasama para aktor yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut
resiko, lebih kreatif dan berdaya, tidak mencerminkan watak yang kaku utamanya
menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas
governance merupakan jaringan (network) kinerja diantara
organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk mencapai
tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan aktor lintas organisasi secara
vertikal dan horisontal.
Keempat,
terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan
sistem nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal
yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance
menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai
tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan
birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang
kreatif. Governance dipandang sebagai sesuatu yang akseptabel, lebih
absah, lebih kreatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.
Dari keempat terminologi tersebut dapat
ditarik pokok pikiran bahwa governance dalam konteks administrasi publik
adalah merupakan proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan
publik yang dilakukan oleh aktor : pluralitas organisasi, dengan sifat
hubungan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal,
disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif,
kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang
kuat untuk mencapai tujuan publik yang akuntabel.
Berdasarkan pemikiran ini governance
adalah merupakan sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik
yang semula hanya diartikan sebagai hubungan struktural antara aktor-aktor yang
ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O'Toole memberikan
interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance
sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada
berbagai level (multi layered structural contex). Kedua, governance
adalah studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor
sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil.
Merupakan konser sosial melibatkan pelaku-pelaku untuk
mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya peran
lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan aktor yang
ada.
Sementara itu dari perspektif
strukturalis sebagaimana argumentasi Lynn, Heinrich dan Hill yang dikutip oleh
Frederickson elemen penting notion governance meliputi aras teori kelembagaan
(institutionalism) dan teori jaringan (network theory) .
Pertama,
governance berkaitan dengan suatu level kelembagaan (institutional
level). Matra ini meliputi sistem nilai, peraturan-peraturan
formal atau informal dengan tingkat pelembagaan yang mantap : bagaimana hirarki
ditata, sejauhmana batas-batasnya disepakati, bagaimana prosedurnya, apa
nilai-nilai kolektif yang dianut rejim. Yang termasuk dalam konsepsi ini antara
lain : hukum administrasi, dan bentuk peraturan legal lainnya,
teori-teori yang berkaitan dengan bekerjanya birokrasi dalam skala luas, teori
politik ekonomi, teori kontrol politik terhadap birokrasi. Pada gatra ini
terdapat sejumlah teori yang sangat penting : teori kelembagaan (institutional
theory), teori perburuan rente (rent seeking), teori kontrol
dari birokrasi, dan dan teori tujuan dan filosofi pemerintah. Pada bagian ini
teori governance difokuskan pada tataran-tataran sistem nilai (value).
Kedua,
pada level organisasi dan managerial governance akan berpautan dengan
biro-biro hirarki, departemen, komisi dan agen-agen pemerintah atau juga
organisasi-organisasi yang menjalin hubungan kerja dengan pemerintah . Pada
tataran ini agenda-agenda : kebebasan dan mandirian administratif,
takaran-takaran unjuk kerja dalam proses pelayanan publik, menjadi isu yang
penting. Tori-teori yang signifikan untuk menjelaskan fenomena ini antara lain
: principal-agent theory, transaction cos analysis theory, collective action theory,
network theory. Intinya, pada terminologi kedua ini governance diproyeksikan
pada peran mengakselerasikan kepentingan-kepentingan publik (public
interest) dalam suatu network antar institusi..
Ketiga,
pada level teknis, bagaimana nilai-nilai dan kepentingan publik sebagaimana
telah dikemukakan pada pendekatan pertama dan kedua harus dioperasionalisasikan
dalam tindakan-tindakan riil. Isu-isu tentang profesionalisme, standar
kompetensi teknis, akuntabilitas, dan kinerja (performance) sangat
penting dalam konteks ini. Teori-teori yang relevan untuk tema ini antara lain
: ukuran-ukuran efesiensi, teknis manajemen budaya organisasi, kepemimpinan,
mekanisme akuntabilitas, dan ukuran. Dengan demikian pada level ini
governance lebih banyak berurusan dengan implementasi kebijakan publik pada
level operasional (public policy at the street level).
Interpretasi teori governance
menurut terminologi diatas merupakan reduksi dari dua pendekatan utama, yaitu
teori institusionalisme (institusionalism) dan teori jaringan (network).
Governance adalah merupakan pumpunan dari berbagai organisasi-organanisasi
publik dimana negara hanya menjadi salah satu elemennya disamping elemen yang
lain yang menjalin sebuah networking secara kolektif. Disamping itu karena
governance memumpun sejumlah pluralitas organisasi maka kehadiranya juga
dibangun oleh berbagai sistem nilai dan norma yang dibawa pada tataran supra
organisasi, inter organisasi dan antar organisasi. Dalam konteks ini maka
governanace sesungguhnya sarat dengan ikatan-ikatan sistem nilai yang tersedia
dalam deposit sistem sosialnya. Administrasi publik dalam konteks ini tidak
netral dengan berbagai realitas yang berkembang di ekologinya. Sistem nilai
dapat saja berupa nilai-nilai formal yang dikonstruksi oleh pranata-pranata
hirarkis dan rasional tapi juga dapat dipengaruhi oleh berbagai varian sistem
nilai yang oleh Francis Fukuyama (1999) order sosial demikian juga dibangun
secara spontan dan arasional oleh publik. Justru nilai-nilai spontan arasional
yang merupakan salah satu elemen kapital sosial inilah yang menyebabkan,
modernisasi dan demokratisasi negara-negara modern di dunia dapat lebih cepat
dibanding yang lain. Kini kita telah memasuki sebuah periode kesadaran baru,
bahwa ciri utama interaksi peradaban masyarakat modern tidak hanya
ditentukan oleh order yang bersifat publik, formal, dan bercorak legal
tetapi lebih dari itu juga ditentukan oleh peran-peran yang sifatnya dapat
dinegosiasikan (negotiable), bersifat labil, kontur-kontur yang bersifat sangat
privat, yang disebut sebagai nilai-nilai informal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar