Gede
Sandiasa dkk
Terjemahan
Theories of Governance
From
Book "The Public Administration Theory Primer"
H. George Frederickson & Kevin B. Smith
I. Pendahuluan
Kebutuhan
Administrasi Publik
Terhadap
Teori Governance
Selama perempat akhir abad ini, demokrasi
terindustrialisasi telah menyaksikan pergeseran fundamental dalam tujuan-tujuan
dan metode-metode pemerintahan. Berbagai macam elemen dirangkai untuk
menghasilkan perubahan berikut:kenaikan defisit, stagnansi ekonomi,
ketidakpuasan terhadap janji-janji negara kesejahteraan yang hanya
kadang-kadang dipenuhi, dan perasaan umum bahwa pemerintah melanggar kebebasan
individu. Hal ini berkebalikan dengan karakteristik tren yang muncul pada
perkembangan pasca Perang Dunia II, pemerintahann-pemerintahan pada tahun
1970an, 1980an, dan 1990an menjadi kurang hirarkis, terdesentralisasi, dan
lebih berkeinginan untuk menanggalkan peran mereka sebagai pelaku dominan
kepada sektor swasta (Kettl 2000).
Perubahan-perubahan ini menimbulkan
pertanyaan mengenai cakupan dan sifat dari administrasi publik, baik sebagai
profesi maupun sebagai disiplin kesarjanaan. Hampir sepanjang abad 20,
administrasi publik sempat bersinonim dengan birokrasi, hirarki, dan
akuntabilitas. Meskipun masa keemasan hegemoni teoritis dalam administrasi
publik telah ambruk pada dekade 1950an dibawah gempuran gabungan Waldo, Simon,
dan lain-lain, kemunduran dari dikotomi politik-administrasi sebagai prinsip
pengorganisiran inti disiplin tidak mengubah watak konstitusional maupun
institusional dari pemerintah. Kerutuhan teori ortodoks berarti bahwa
birokrasi-birokrasi dalam yurisdiksi-yurisdiksi kebijakan terpusat tidak lagi
bisa dianggap diluar atau diatas politik, namun hal-hal itu tetap menjadi
penyuplai-penyuplai pusat atas barang-barang umum dan tetap mendefinisikan akan
teori administrasi apa yang digunakan sebagai penjelas. Pluralisme teoritis
berikut bergelut dengan keberhasilan campuran dalam menjelaskan hubungan
birokrasi yang baru diakui dengan legislatif, eksekutif, dan unsur kebijakan lainnya,
namun hubungan-hubungan tersebut, persiapan-persiapan teknis yang menopangnya,
dan peran dari pegawai negeri dalam mempertahankannya agar kurang lebih tak
terjamah. Lanskap teoritis dari administrasi publik telah berubah namun
kenyataan profesional dan empirisnya tetap stabil.
Stabilitas tersebut
dijungkirbalikkan oleh gerakan berskala dunia untuk mengembangkan dan
mengadopsi metode-metode alternatif dalam menjalankan kebijakan dan menyediakan
layanan umum. Meskipun gerakan ini tidak diarahkan ataupun direncanakan secara
terpusat serta sangat beraneka ragam dalam spesifikasi-spesifikasinya, gerakan
tersebut dicirikan oleh beberapa elemen inti yang umum. Hal ini mencakup adopsi
manajemen berbasis pasar dan teknik-teknik alokasi sumber daya, ketergantungan
yang meningkat atas organisasi-organisasi sektor swasta untuk memberikan
layanan-layanan umum, upaya berkesinambungan dan seksama untuk memperkecil dan
mendesentralisasikan peran pemerintah sebagai aktor kebijakan utama dalam
masyarakat.
Perubahan-perubahan ini menjadi
lebih dari sekedar corak reforma administrasi yang lain. Tak hanya watak
pemerintahan sendiri yang dipertanyakan dan diubah melainkan juga kekuasaan dan
kewenangan dari kota, negara, dan negara-kota menjadi kian kurang jelas
batasnya, serta semakin menyatu dengan yurisdiksi dan sektor swasta lainnya.
Administrasi negara kini semakin kurang birokratis , hirarkis, dan tidak begitu
tergantung pada kewenangan pusat untuk memberi perintah dalam mengambil suatu
tindakan. Akuntabilitas yang diterapkan untuk bisnis publik semakin terkait
dengan performa daripada melepas sasaran-sasaran spesifik dalam batasan hukum
(Moe dan Gilmour 1995). Dua puluh tahun terakhir ini telah menandai bangkitnya
“negara hampa,” suatu metafora untuk pemerintah yang membuat kontrak pendanaan
layanan publik dengan jaringan (yang sebagian besar berupa)
organisasi-organisasi nirlaba dan mengurangi perannya sebagai penyedia langsung
dari barang-barang umum (Milward dan Provan 2000b, 240). Selain itu juga ada
peningkatan “kebijakan-kebijakan publik dan program-program di Amerika Serikat
(AS) serta di tempat lainnya yang dikelola...melalui jejaring negara bagian,
wilayah-wilayah, distrik-distrik khusus, area-area penyedia layanan,
kantor-kantor lokal, organisasi-organisasi nirlaba, kerjasama, jaringan, dan
cara-cara lain untuk mengontrol dan mengoordinasikan aktivitas-aktivitas yang
tersebar” (Lynn, Heinrich, dan Hill 2001, 1).
Perubahan-perubahan ini menantang
sejumlah teori administrasi publik yang sudah ada karena membentuk ulang konsep
tersebut tepat pada jantung disiplin ilmunya. Secara tradisional, sebenarnya
kata “publik” dalam administrasi publik bermakna pemerintah. Seiring dengan
berubahnya peran tradisional pemerintah, dan dugaan-dugaan terkait bagaimana
peran tersebut dijalankan, administrasi publik dipaksa untuk mendefinisikan dan
memposisikan ulang baik dalam praktek maupun sebagai bidang ilmu kesarjanaan.
Untuk mengimbangi kenyataan baru, sarjana-sarjana administrasi publik dipaksa
untuk memikirkan kembali disiplin ilmu mereka dan juga landasan-landasan
teoritisnya. Negara hampa secara harafiah mendefinisikan ulang apa makna
“publik” dalam administrasi publik. Minimal, definisi publik kini harus
mencakup varian luas dari institusi dan organisasi yang secara tradisional
dianggap di luar ranah pemerintah, sebagaimana hubungan yang dimiliki
organisasi-organisasi tersebut baik satu sama lain maupun dengan
otoritas-otoritas pembuat kebijakan. Definisi baru ini meningkatkan jumlah dan
kompleksitas dari sasaran-sasaran penjelas yang harus dijabarkan teori-teori
administrasi publik.
Ekspansi area kesarjanaan
administrasi publik dicerminkan dalam meningkatnya ketertarikan dalam konsep
pemerintahan, baik sebagai suatu gagasan maupun sebagai deskripsi umum atas
studi administrasi publik. Memang, terminologi “pemerintahan” kian diwakili
oleh istilah “administrasi publik” atau “manajemen publik” dalam wacana-wacana
terkemuka dari disiplin ilmu terkait.(Kettl 2000, Salamon 10989, garvey 1997,
Peters dan Pierre 1998). Perubahan linguistik dari administrasi publik menjadi
studi mengenai pemerintahan mengakui adanya kenyataan-kenyataan baru dalam
administrasi negara serta menghadapi orientasi teori yang baru dalam disiplin
ilmu tersebut. Garvey (1997), misalnya, menggunakan pemerintahan sebagai cara
untuk membedakan antara ortodoksi administrasi publik yang dibangun di atas
prinsip-prinsip dikotomi administrasi politik (dan didefinisikan sebagai
kepakaran, seleksi prestasi, spesialisasi, pembangunan institusi, dan ilmu
manajemen), serta suatu teori baru administrasi publik berdasarkan pemahaman
bahwa jaringan-jaringan yang disebarluaskan kini kian bertanggung jawab untuk
menyediakan layanan publik. Konsep-konsep pemerintahan tersebut memperluas dan
membuat tantangan pengembangan teori administrasi publik menjadi kian kompleks.
Selain itu konsep-konsep demikian dinyatakan lebih valid secara empiris dalam
memahami bagaimana sebenarnya program-program pemerintah beroperasi, dalam
menyediakan material-material konstruksi yang lebih bermanfaat untuk
pembangunan teori daripada pemakaian sekian ortodoksi yang telah usang dan kian
tidak relevan.
Meskipun kebutuhan teori
administrasi publik untuk menjabarkan perubahan-perubahan dalam peran dan
praktek pemerintah selama beberapa dekade terakhir telah diketahui secara
meluas, namun masih belum jelas apakah teori pemerintahan ada untuk menjawab
tantangan ini. Tidak diragukan lagi bahwa model birokrasi dan manajemen
Weberian kini sudah semakin tidak relevan untuk administrasi publik namun
setidaknya, model itu pernah, dan masih, menjadi seperangkat alat intelektual
yang lebih tajam dibandingkan konsep pemerintahan yang masih kabur. Meskipun
kepemerintahan kini hampir sinonim dengan administrasi publik, banyak wacana
yang menganggap “kepemerintahan” tidak terlalu penting untuk didefinisikan,
karena rupanya diasumsikan bahwa maknanya sudah secara alami dan secara
intuitif dimengerti (Osborne dan Gaebler 1993). Sebagai suatu penganti teori,
intuisi jelas tidak mungkin menyediakan penggunaan disiplin ilmu yang bertahan
lama.
Karena kekurangan definisi universal
maka kepemerintahan kini lebih merupakan sebuah pengakuan atas kenyataan
empiris dari masa yang berubah daripada sebagai bangunan teori yang koheren.
Meskipun demikian, perdebatan dalam hal kepemerintahan masih terus berlangsung
dan mungkin akan membentuk ulang administrasi publik sebagai disiplin ilmu
kesarjanaan yang dipandang oleh sebagian pihak sebagai sesuatu yang tak
terhindarkan. Sejumlah sarjana dengan cermat mencoba menangkap tujuan dan
proses dari kenyataan-kenyataan baru dalam teori kepemerintahan. Proyek ini
dijalankan dari berbagai macam sudut pandang dan tradisi intelektual. Disinilah
dalam kemunculan bidang teori kepemerintahan, sarjana-sarjana administrasi
publik bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan inti yang disebabkan oleh
pertumbuhan negara terfragmentasi, yaitu: Apa peran negara dalam masyarakat?
Bagaimana peran ini dijalankan? Apakah kenyataan-kenyataan baru dalam
penyediaan layanan publik cukup bertanggungjawab dalam proses demokrasi? Bab
ini membahas tema-tema dominan dalam perdebatan mengenai kepemerintahan dan
potensinya dalam menyediakan disiplin ilmu dengan perangkat-perangkat teori
yang diperlukan untuk memahami dan menjelaskan administrasi publik pada abad
dua puluh satu.
Salah satu kontribusi di antara
kontribusi-kontribusi terpenting terhadap munculnya wacana kepemerintahan
adalah karya Laurence E. Lynn, Jr., Carolyn J. Heinrich, dan Carolyn J. Hill
(1999, 2001; Heinrich dan Lynn 2000). Karya mereka merepresentasikan sintesis ambisius
dalam bidang yang mencoba mengartikulasikan agenda penelitian meluas dan
menyediakan kerangka kerja yang diperlukan untuk menjalankan agenda ini ke
depan. Mereka menyarankan bahwa kepemerintahan merupakan suatu konsep dengan
potensi menyatukan manajemen publik dan wacana kebijakan publik yang luas
sekali, dengan menanamkan sasaran-sasaran eksplanatoris dan menandai kontribusi
kritis dari penelitian besar. Lynn et al. (2000, 1) menyatakan bahwa pertanyaan
dasar di jantung semua penelitian terkait kepemerintahan adalah “Bagaimana
mungkin rezim-rezim sektor publik, agensi-agensi, program-program dan
aktivitas-aktivitas diorganisir dan bisa memenuhi tujuan-tujuan publik?”
Dengan susunan administrasi yang
kompleks dan menjadi ciri dari negara hampa, menjawab pertanyaan tersebut
merupakan sebuah tantangan yang luar biasa sulit. Terdapat jumlah yang luar
biasa banyak dalam ragam aturan, prosedur, organisasi, dan performa di antara
entitas-entitas yang tersebar dan terdesentralisasikan dan kini terlibat dalam pembekalan
layanan publik. Variasi ini muncul baik dalam dan antar yurisdiksi kota, negara
bagian, dan bangsa. Apa penjelasan atas variasi ini? Apakah hal ini bersifat
sistematis? Akankah pemahaman terhadap variasi ini membantu membuat
administrasi publik dan strategi-strategi manajemen yang lebih baik? Suatu
teori kepemerintahan bisa membantu menyediakan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan administrasi publik suatu
penanganan intelektual atas negara hampa. Lynn et al. Tidak mengklaim
menciptakan teori tersebut namun lebih cenderung meletakkan fondasi sistematis
terhadap studi kepemerintahan. Sasarannya lebih merupakan nasehat daripada
petunjuk; hal ini menyarankan pendekatan-pendekatan terhadap atas desain
penelitian dan interpretasi yang “akan mempromosikan penciptaan sebidang
pengetahuan yang nilainya setara atau melampaui jumlah bagian-bagiannya yang
banyak” (Lynn et al. 2001, 15).
Meskipun sasaran Lynn et al tidak
menyertakan konstruksi kerangkakerja penjelas komprehensif, namun menawarkan
hal-hal yang diperlukan dalam membangun teori lengkap. Hal ini diawali dengan
definisi kepemerintahan sebagai “rezim atau hukum, peraturan administratif,
kepenguasaan yudisial, dan praktek-praktek yang membatasi, merekomendasikan,
dan memungkinkan aktivitas pemerintahan, dimana aktivitas-aktivitas demikian
didefinisikan secara meluas sebagai produksi dan pemberian barang dan jasa yang
didukung secara terbuka” (Lynn et al. 2000, 3). Definisi ini menyiratkan bahwa
kepemerintahan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah namun saling terkait.
Elemen-elemen ini meliputi struktur-struktur organisasional, finansial, dan
programatis, statuta dan hukum, mandat-mandat politik, sumber daya-sumber daya
yang tersedia, aturan-aturan administratif, serta aturan-aturan dan norma-norma
yang terinstitusionalisasi.
II. Sebuah Model Governance Baru
Diantara banyaknya kontribusi
penting yang diberikan pada literatur governance adalah karya Laurence E. Lynn,
JR., Carolyn J. Heinrich dan Carolyn J. Hill (1999, 2001; Heinrich dan Lynn,
2000). Karya mereka mewakili sebuah sintesis ambisius dari bidang ini yang
berusaha untuk menyampaikan sebuah agenda riset bercakupan luas dan menyediakan
framework yang dibutuhkan untuk menjalankan agenda tersbeut. Mereka menyatakan
bahwa governance adalah sebuah konsep yang memiliki potensi untuk menyatukan
penyebaran literatur manajemen publik dan kebijakan publik, menginvestasikannya
dalam tujuan-tujuan yang bersifat explanatory dan menandai sebuah kontribusi
penting dari sejumlah besar riset. Lynn et al., (2000, 1) berpendapat bahwa
pertanyaan dasar di jantung semua riset terkait governance adalah: “Bagaimana
rezim sektor publik, agensi, program dan aktivitas dapat diorganisir dan
dikelola untuk mencapai tujuan publik?”
Mengingat kompleksnya pengaturan
administratif yang mengkarakterisasikan negara (hollow state), menjawab
pertanyaan ini adalah sebuah tantangan yang luar bias asulit. Terdapat sejumlah
besar variasi dalam aturan, prosedur, organisasi dan performa diantara beragam
entitas yang tersebar dan terdesentralisasi yang kini terlibat dalam kaidah
servis publik. Variasi ini terjadi di dalam dan antara yurisdiksi kota, negara
dan bangsa. Apa yang dihitung dalam variasi ini? Apakah hal ini sistematis?
Apakah memahami variasi ini akan dapat membantu dalam membentuk administrasi
publik dan strategi manajemen yang lebih baik? Sebuah teori governance dapat
membantu dalam memberikan jawaban untuk pertanyaan diatas dan memberikan sebuah
pegangan intelektual bagi administrasi publik dalam negara (hollow state). Lynn
et al., tidak mengklaim dapat menciptakan teori semacam ini, tapi mereka
mencari cara untuk bisa melandaskan sebuah pondasi sistematik dalam studi
governance. Tujuan mereka lebih bersifat advisory dan bukannya preskriptif;
yakni untuk menyarankan pendekatan-pendekatan terhadap rancangan dan
interpretasi riset yang “akan mempromosikan penciptaan sebuah badan pengetahuan
yang nilainya setara atau melebihi jumlah dari gabungan bagian-bagiannya.”
(Lynn et al., 2001, 15).
Meski tujuan Lynn et al., tidak
termasuk pembentukan sebuah framework explanatory yang komprehensif, mereka
menawarkan beberapa palang yang dibutuhkan untuk membangun sebuah teori
full-blown semacam ini. Hal ini dimulai dengan sebuah definisi governance
sebagai “rezim hukum, aturan administratif, kekuasaan yudisial dan prakteknya
yang membatasi, menentukan dan mengijinkan terjadinya aktivitas pemerintahan,
dimana aktivitas semacam ini didefinisikan secara luas sebagai produksi dan
penyampain barang dan jasa yang didukung publik.” (Lynn et al., 2000, 3).
Definisi ini mengimplikasikan bahwa governance terdiri atas elemen-elemen yang
terpisah namun saling berhubungan satu sama lain. Elemen-elemen ini termasuk
struktur organisasi, finansial dan programmatik; undang-undang dan hukum;
mandat kebijakan; sumberdaya yang tersedia; aturan administratif dan aturan
serta norma yang terinstitusionalisasi. Definisi ini juga mengimplikasikan
bahwa governance secara inheren merupakan politik, yang melibatkan penawaran
dan kompromi antar aktor dengan kepentingan yang berbeda, dan hal ini terdiri
atas struktur formal serta pengaruh informal, dimana salah satunya dapat
mengkarakterisasikan hubungan antara otoritas formal dan tingkah laku aktual
dari operasi government-mandated (Lynn et al., 2001, 10).
Elemen-elemen kombinasi yang
membentuk konsep governance Lynn et al dikatakan mendeskripsikan ends (akhir)
dan means (cara) aktivitas pemerintahan dan bagaimana ends dan means ini saling
berhubungan. Sebuah konfigurasi tertentu dari elemen-elemen ini adalah hal yang
disebut sebagai “rezim governance”, dimana masing-masing rezim akan mencakup
tatanan komponen yang luas dan menentukan penyediaan servis publik dalam area
tertentu. Komponen-komponen ini termasuk domain kebijakan (misal., perlindungan
lingkungan), tipe aktivitas pemerintahan (misal., regulasi), yurisdiksi
tertentu (misal., sebuah negara) dan organisasi tertentu (misal., departemen
sumberdaya alam/state department of natural resources). Pembentukan rezim-rezim
ini adalah sebuah produk dari proses dinamis yang mereka sebut sebagai “logika
governance”. Proses ini menghubungkan nilai (value) dan kepentingan warganegara
dengan tindakan para legislatur, eksekutif dan pengadilan (Lynn et al., 1999).
Mereka berpendapat bahwa kunci dari studi governance adalah tiba pada sebuah
pemahaman sistematis dari proses ini dan hubungannya terhadap performa:
“Permasalahan teoretis utama dalam riset governance adalah mengaplikasikan
teks-teks teori, governance dan konsekuensi atau outcome” (Lynn et al., 2001,
17).
Lynn et al. menyatakan bahwa studi
penelitian governance memiliki dua antesenden intelektual primer. Yang pertama
adalah institusionalisme, khususnya seperti yang dipraktikkan oleh para
akademisi public choice (pilihan rakyat). Badan literatur ini telah berulang
kali mengkonfirmasi bahwa pengaturan struktural akan membentuk perilaku di
dalam sebuah organisasi, menentukan performa sebuah organisasi dan struktur
hubungannya dengan aktor eksternal. Yang kedua adalah studi jaringan. Badan
literatur dalam jaringan menekankan “peranan multiple aktor sosial dalam
jaringan negosiasi, implementasi dan penyampaian (delivery)” (O’Toole, 1993).
Mengingat pondasi ini, maka tidaklah mengejutkan bahwa banyak elemen-elemen
governance yang dideskripsikan oleh Lynn et al., sebagai entitas yang
menyerupai elemen-elemen administrasi publik tradisional. Tapi governance
adalah sebuah ide skala luas yang mensintesis dan mendorong ide-ide pokok dari
literatur institusional dan jaringan serta menarik beberapa tradisi teoretis
lain yang familiar bagi para akademisi administrasi publik.
Sama seperti teori jaringan, konsep
Lynn et al. mengenai governance beroperasi dalam setidaknya tiga level yang
berbeda: institusional, organisasional, dan teknis. Pada level institusional,
terdapat aturan formal dan informal yang stabil, hierarki, batasan-batasan,
prosedur-prosedur, nilai (value) rezim, dan otoritas. Memahami institusi
menarik sejumlah pemikiran, termasuk public choice (pilihan rakyat),
teori-teori yang berkenaan dengan kontrol birokrasi, dan teori atau
filosofi-filosofi pemerintahan yang lebih luas. Level institusional dari
governance ditujukan pada pemahaman pembentukan, adopsi dan implementasi
kebijakan publik (khususnya yang terakhir disebut). Pada level organisasi atau
manajerial, level governance adalah biro-biro hierarki, departemen-departemen,
komisi-komisi, semua agensi eksekutif lainnya dan beragam organisasi non
pemerintahan yang terhubung dengan otoritas publik dengan kontrak atau insentif
/mandat lain. Memahami level governance ini akan menarik teori agensi,
teori-teori insentif, teori leadership dan teori jaringan. Hal yang penting
dalam level ini adalah memahami insentif, keleluasaan administratif, pengukuran
performa, dan fungsional layanan sipil (atau agensi non pemerintahan). Level
teknis dari governance mewakili lingkungan tugas, dimana kebijakan publik
dilaksanakan pada level jalanan. Isu-isu profesionalisme, kompetensi teknis,
motivasi, akuntabilitas dan performa adalah minat-minat utama dalam level
teknis, yang menarik teknik analitik (dan teori-teori) efisiensi, manajemen,
leadership organisasi, akuntabilitas, insentif dan pengukuran performa.
Mengingat besarnya dan kompleksnya
governance yang dikarakterisasikan oleh Lynn et al., dan sketsa sintesis
ambisius akademisi yang dibutuhkan untuk menghadapi subyek ini, memaksa sebuah
tatanan kausal terhadap hubungan antara governance dan performa adalah sebuah
tantangan teoretis dari sejumlah besar kompleksitas. Sebagai langkah pertama
dalam memenuhi tantangan tersebut, Lynn et al. mendedikasikan sejumlah besar
upaya untuk mengembangkan logika governance dalam membantu mendukung riset
sistematik. Logika governance disajikan sebagai sebuah teori heuristik yang
bertentangan dengan teori full-blown, dan terutama dilandaskan pada literatur
ekonomi politik. Intensinya adalah untuk membantu dalam mendefinisikan sebuah
agenda riset daripada memberikan sebuah penjelasan governance yang
komprehensif.
Dalam bentuk yang lebih sederhana,
Lynn et al. (2000, 15) memberikan logika governance mereka sebagai sebuah model
yang mengambil bentuk sebagai berikut:
O = f [E, C, T, S, M]
Dimana:
O = Output/outcome. Produk akhir dari rezim governance.
E = faktor lingkungan. Entitas ini dapat meliputi struktur
politik, level otoritas, performa ekonomi, adanya atau tidak adanya kompetisi
antara supplier, level sumberdaya dan ketergantungan, framework legal, dan
karakteristik dari sebuah populasi target.
C = karakteristik klien. Atribut, karakteristik dan perilaku
klien.
T = perlakuan/treatment. Entitas ini adalah keping primer
atau proses-proses inti organisasi di dalam rezim governance. Mereka akan
termasuk misi dan tujuan organisasi, kriteria rekrutmen dan eligibilitas,
metode untuk menentukan eligibilitas dan program treatments atau teknologi.
S = struktur. Entitas ini akan mencakup tipe, level
koordinasi dan integrasi antara organisasi di dalam rezim governance, tingkatan
kontrol tersentralisasi relatif, diferensiasi fungsional, aturan administratif
atau insentif, alokasi anggaran, pengaturan atau hubungan kontraktual, dan
kultur serta value/nilai institusional.
M = peranan dan tindakan manajerial. Hal ini termasuk
karakteristik leadership, relasi staff-management, komunikasi, metode
pengambilan keputusan, sehubungan dengan profesionalisme/karir, dan mekanisme
monitoring, kontrol dan akuntabilitas.
Model bentuk sederhana ini
dimaksudkan sebagai sebuah titik awal untuk riset empiris pada governance. Lynn
et al. (2000, 15) dengan seksama mencari cara untuk membuat model yang
fleksibel, dan mengetahui bahwa titik awal teoretis pengganti atau tujuan riset
tertentu mungkin akan membutuhkan pemasukan variabel lain. Mereka juga
mengetahui bahwa variabel explanatory di dalam model tidak selalu independen
satu sama lain, dan mengeksplorasi inter-relasi diantara mereka adalah langkah
berguna lain untuk para akademisi governance.
Meski konsep dan model mereka jelas
bukan merupakan teori aksiomatik, pendekatan Lynn et al. terhadap governance
dengan segera mengklarifikasikan beberapa isu penting untuk riset governance.
Secara kritis, pendekatan mereka menanda sifat multilevel governance, hal yang
tidak tercermin dengan baik dalam riset akademisi atau juga tidak sepenuhnya
dikenali oleh para pendukung desentralisasi. Outcome dari reformasi skala besar
apapun, baik itu buruk atau baik, akan tergantung pada keputusan yang dibuat di
beragam level administrasi dan konteks dimana keputusan-keputusan ini
dilaksanakan. Implikasi ini tampak jelas dalam persentasi governance Lynn et
al, meski mereka banyak diabaikan oleh para arsitek reformasi. Lynn et all
meminta studi penelitian yang memperhatikan pada sistem hierarkis organisasi
pemerintah; studi yang menggunakan data dari multiple sources (sumber-sumber
yang beragam) dan level analisa yang beragam pula dan yang menggunakan
metodologi yang memungkinkan untuk menerapkan multi input data (Roderick, Jacob
dan Bryk, 2000).
Konsep dan model governance Lynn et
al., menyokong kebutuhan mereka untuk mendapatkan sebuah agenda riset yang
ambisius dalam membantu menjelaskan dan meningkatkan performa negara
administratif yang terdesentralisasi. Sebagai sebuah motivasi dan
bimbingan/panduan terhadap riset, karya mereka sudah menghasilkan manfaat, tapi
potensinya untuk matang menjadi sebuah teori yang full-blown masih dipertanyakan.
Sebagai pengantar dari teori ini, argumen mereka memiliki dua permasalahan
utama.
Pertama, dan yang paling penting,
tidak satupun dari konsep ataupun model mereka secara khusus dapat dikatakan
parsimoni. Model mereka “mendekati kritisisme ahli ekonomi terhadap ilmu
politik: dengan memasukkan semua hal, maka seseorang beresiko menghasilkan
penjelasan nol” (Ellwood, 2000). Bahkan sebagai sebuah teori heuristik, model
mereka memasukkan semua (all-encompassing) sehingga penggunaannya sebagai
sebuah panduan sistematis masih dipertanyakan. Bukannya menempatkan sebuah
tatanan kausal pada governance, model ini mungkin tidak lebih dari sekadar
memberikan daftar elemen-elemen konseptual yang luas dan dapat secara selektif
disesuaikan untuk cocok dengan sebuah kasus tertentu. Hal ini adalah layanan
yang berguna, tapi hal ini tidak memberikan penjelasan yang memadai untuk
sebuah teori.
Permasalahan kedua adalah bahwa
meskipun sebuah model yang lebih parsimoni dan lebih umum dapat dikonstruksikan
dari elemen-elemen ini, hal ini mungkin tidak dapat menghasilkan kesimpulan
umum. Rezim governance tampaknya dibentuk oleh domain kebijakan mereka, dan
tipe kebijakan yang berbeda akan mengarah pada permasalahan governance yang
berbeda pula. Apa yang bisa berguna untuk misalnya, kesejahteraan, mungkin
tidak akan berguna untuk perlindungan lingkungan. Permasalahan dasar dari
kebijakan publik bahwa hal ini secara inheren merupakan sebuah proses politik.
Rancangan, implementasi dan administrasinya akan melibatkan berbagai aktor dengan
berbagai tujuan dan agenda. Governance seperti yang diuraikan oleh Lynn et al.,
mengakui realitas ini dan tidak berusaha untuk menjelaskannya secara sistematis
(Ellwood, 2000, 329-330).
Model Lynn et al. memiliki kesulitan
teknis lainnya. Salah satunya adalah kesulitan dalam membujuk akademisi untuk
mengadopsi metodologi riset yang lebih kompleks dan mengatasi sejumlah isu
permasalahan pengukuran yang rumit. Misalnya, adalah satu hal untuk memasukkan
sebuah konsep yang abstrak dan tidak didefinisikan dengan sempit seperti
misalnya manajemen di dalam sebuah model heuristik, tapi secara empiris
menangkap konsep tersebut dalam sebuah studi penelitian yang berusaha untuk
menilai dampaknya terhadap performa agensi adalah hal yang lain lagi. Beberapa
kesulitan lain dari mengumpulkan sejumlah besar target ke dalam sebuah agenda
riset yang dikarakterisasikan dengan koherensi konseptual dan metodologis
tampaknya tidak dikenali oleh Lynn et al. Mereka meminta penyempitan tindakan
sejalan dengan pergerakannya dari sebuah ambisi konseptual yang luas menuju
penanganan detil kesulitan dalam menempatkan visi tersebut dalam praktek.
Secara operasional, model mereka dipindahkan ke dalam sebuah proposal untuk
model ekonometrik kreatif dari performa atau output agensi (Lowery n.d).
Meski kita tidak mengabaikan
permasalahan-permasalahan ini, kritisisme tersebut diatas bisa saja merupakan
hal terlalu awal untuk diprediksikan. Lynn et al. tidak pernah mengklaim untuk
memiliki sebuah teori governance yang sepenuhnya fungsional; tujuan mereka
adalah untuk mengadopsi sebuah program riset yang secara teoretis dan empiris
menanggapi governance kebijakan publik dan memberikan kontribusi untuk
meningkatkan penciptaannya, implementasinya dan administrasi/penerapannya.
Program riset ini telah menarik akademisi pada standar-standarnya (lihat Lynn
et al., 2000).
III. Governance sebagai New Public Management
Kritism besar pendekatan Lynn et
al’s bahwa predikat atas definisi governance meluas dan eksklusif kehilangan
makna khususnya. Sebuah pendekatan alternatif sekumpulan pembatasan konsep
melalui menyamakan governance dengan NPM, kadang-kadang dikenal sebagai dengan
manejerilaism. NPM menjadi karakteristik manajemen publik global mereformasi
gerakan yang meredifinisi hubungan antara masyarakat dan pemerintah.
Meskipun menajemen ini mereformasi
gerakan memiliki sejumlah variasi melintasi dan mengemuka antara negara-bangsa,
adalah merupakan tema universal. Dalam perluasan pandangan pada reformasi
gerakan Donal Kettl (2000, 1-2) mengemukakan enam isu inti yang diprediksikan
yaitu: 1) produktivitas, upaya reform merupakan suatu hal yang serius
untuk memperkirakan pemerintah dapat bekerja, more with less dengan mempertahankan, atau meningkatkan pelayanan
publik dengan investasi sumber yang rendah. 2) marketisasi, gerakan
reformasi menjadi prestasi atas pemerintah dalam mempengaruhi mekanisme pasar
yang menghadirkan patologi birokrasi tradisional. 3) orientasi service, salah
satu dari tujuan umum dari reformasi adalah memperbaiki hubungan pemerintah
dengan citizen dan memperbaiki
kepuasan kostumer terhadap pelayanan publik. 4) desentralisasi, ini tidak
hanya merupakan devolusi menengah dari kekuatan pengambilan keputusan ke arah
level lebih rendah dari hirarki politik atau birokrasi tetapi juga merupakan
upaya sadar untuk menempatkan pada siapa yang membuat keputusan kebijakan
sebagai sesuatu yang tertutup menjadi mungkin bagi people (orang-orang) dapat memberi pengaruh dalam setiap keputusan.
Tujuan menempatkan dari pemerintahan tertutup pada masyarakat dan membuatnya
lebih sensitif dan responsip terhadap berbagai preferensi yang ada. 5) kebijakan,
gerakan reformasi berupaya memperbaiki kapasitas pemerintah dengan mengkreasi,
menginplementasi dan mengadministrasi kebijakan publik. 6) akuntabilitas, gerakan
reform merupakan upaya agar membuat pemerintah melayani sesuai dengan apa yang
menjadi janjinya.
Kettl (2000, 2-5) berpendapat dalam
hatinya bahwa gerakan reformasi manajemen menghadirkan sebuah perdebatan
tentang governance “apa yang seharusnya pemerintah lakukan? Bagaimana cara
melakukannya dengan baik dalam mencapai tujuan ini? Kapasitas bagaimana yang
diperlukan untuk hal ini. Gerakan manajemen reformasi dibangun atas gagasan
pemerintah yang baik, yang diterjemahkan dari misi, peran, kapasitas dan
hubungan kebutuhan (ketidakcukupan) kondisi kemakmuran ekonomi dan kesejahteran
sosial. Pemerintahan dalam kontek tatakelola manajemen menjadi isu sentral
dalam hubungan pemerintah dan masyarakat, dan mengevaluasi kembali serta
mereformasi hubungan dalam persoalan utama NPM menghadirkan posisi fundamental
dalam politik dari posisi administrasi (Kettl 2000, 36).
Kettl berpendapat bahwa terdapat
berbagai alasan pemicu dan motivasi dari perdebatan kekuatan tata kelola di
dalam kajian gerakan manajemen publik. Hal ini termasuk stagnasi ekonomi
melalui berbagai pelaksanaan demokrasi di tahun 1970-an dan tahun 1980-an yang
diikuti dengan over regulasi pemerintah, penurunan kepercayaan pada pemerintah
terhadap pelaksanaan demokrasi politik selama periode yang sama dan pada masa
berakhirnya perang dingin, yang mana beberapa Negara membangun infrastruktur
administrasi publik model baru mengarah pada demokrasi politik dan kekuatan
demokrasi pada dunia barat secara serius memikirkan kembali model tatakelola untuk
pertama kalinya selama 50 tahun.
Semua elemen dikombinasikan untuk
mengkreasi tekanan global untuk menguatkan hubungan antara pemerintah dan
masyarakat. Hasil penting dari perdebatn tatakelola menghadirkan NPM. Pemikiran
yang menghadirkan berbagai varian NPM, secara mayoritas NPM terdiri dari 2
model, pertama, yaitu Westminster
model yang secara orisinil terjadi di New Zealand pada tahun 1970-an dan secara
cepat menyebar ke parlemen demokrasi lainnya seperti Australia, Canada, dan
khususnya di Unitede Kingdom (UK). Kedua,
model kewirausahaan pemerintah (reinventing
model government), yang mana hadir terakhir dan secara unik di Amerika
Serikat (US).
Kedua model ini tersebar dalam
sebuah philosopy dasar, sebagai contoh memiliki karakteristik dalam enam isu Kettl
teridentitifikasi sebagai inti gerakan reformasi manajemen. Secara mendasar
adalah perbedaan institusi dan politik, serta sejarah antara gaya parlemen atau
gaya Westminster demokrasi, dan system federal dari US mengesankan setiap model
memiliki keunikan. New Zealand dan UK sebagai contoh sangat kuat dengan
pemerintahan sentralisasi pada tahun 1970-an yang secara langsung dikendalikan
oleh bagian penting dari ekonomi, termasuk transfortasi dan telekomunikasi.
Karakteristik dari model Westminster menjangkau privatisasi dari Negara,
mengontrol industry, pembagian pemerintahan menjadi unit-unit fungsional serta
mendelegasikan kekuasaan pengambilan keputusan pada para aktor unit fungsional.
Namun secara kontroversial mereka nampak tidak pernah antusias untuk
melaksanakan nasionalisasi secara luas dari sektor ekonomi di US, hanya sedikit
privatisasi. Dan karena pemerintahan local, Negara dan nasional di US membagi
tanggungjawab lebih pada arena kebijakan dan merupakan subyek untuk membedakan
motivasi politik, bukan pada kekuatan agen pusat, cukup pada kekuatan
organisasi fungsional dalam skala yang mengarah pada model Westminster.
Sebuah hasil dari perbedaan ini,
bahwa model Westminster memiliki karakteristik lebih fundamental dan sistemik
sebagai upaya untuk mengidentifikasi apa yang pemerintah seharusnya dan
seharusnya tidak dikerjakan, untuk menyelenggarakan kegiatan yang baik melalui
sektor suasta dan mengkonsentrasikan pada upaya menemukan cara yang terbaik
dalam menyelenggarakan sektor publik. Hal ini tidak berarti model pemerintahan
wiraswasta seperti halnya model Westminster. Selanjunya berbagai cara
dipertunjukkan lebih sebagai sebuah upaya radikal dalam system tata kelola “governance”. Walaupun reformasi
Westminster memberi kekuasaan penuh pada administrator dalam sektor publik,
kadang-kadang birokrat mengambil seluruh kewenangan pengambilan keputusan.
Mereka lebih mengarah pada mengkreasi pengaturan kooperatif dalam kreasi
jaringan provisi publik servis. Mewirausahakan pemerintah cenderung mendorong kompetisi
pada kesepakatan yang luas dan perubahan fundamental dari regulasi peran
pemerintah (Kettl, 200,7).
Walaupun variasi ini menekankan pada
gerakan NPM sebuah perdebatan tentang governance,
As Kettl (200, 31) menyatakan pada kedua administrasi sector privat dan sektor
publik merupakan pusat dari kebutuhan untuk koordinasi social. Hal ini
bagaimana para pemimpin secara luas bersama-sama dengan berbagai sumber daya
yang berbeda; keuangan, SDM, keahlian, dan teknologi, dapat diselenggarakan,
merupakan sesuatu yang tidak mudah “intricate
dance” mengimplementasikan kebijakan publik dan program-program yang muncul
sebagai representasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dan tatakelola
merupakan ukuran dari cerminan hubungan tersebut. Karena NPM hadir sebagai
sebuah usaha serius untuk menggambarkan, sebagai pemikiran kembali dan
meperbaiki hubungan diantaranya selanjutnya sebagai model koheren dari governance.
Penyamaan governance dengan NPM
menghindari kritism penting dari Lynn, et al, pendekatan memlaui pembatasan
secara jelas atas konsep dan fokusnya pada definisi lebih baik yang reasonable
model manajemen public. Beberapa berpendapat meskipun overlap antara NPM dan governance yang memiliki kemiripan,
namun sebenarnya memiliki perbedaan yang fundamental diantara keduanya.
Diantara sarjana yang menempatkan lebih sebagai upaya serius penempatan
intelektual NPM dan governance
sebagai dua konep yang terpisah, seperti B. Guy Peters dan John Pierre (1998,
2000). Petter dan Pierre memulai dengan menerima sebuah realitas bahwa peran
pemerintah sebagai aktor pusat kebijakan public dan memiliki pengaruh besar
pada ekonomi secara fundamental dirubah selama kurun waktu dua dekade.
Perubahan sebagai persespsi secara fundamental meningkatkan hubungan antara
sektor privat dan sektor publik dan mereka relatif berperan dan responsip
memperbaiki pelayanan publik. Hubungan ini sebagai inti dari perdebatan governance.
Petter dan Pierre (1998) menyatakan
empat element dasar karakteristik dari diskusi governance : 1) dominasi
jaringan, sebagai ganti institusi pembuat kebijakan formal, governance didominasi melalui sebuah
kesatuan koleksi kepemilikan pengaruh berbagai actor terhadap apa dan bagaimana
public good dan service diselenggarakan. 2) pengurangan
kekuatan control Negara, walaupun pemerintah tidak lagi memperluas
penyelenggaraan pengawasan terpusat pada kebijakan publik, pemerintah masih
memiliki kekuasaan yang berpengaruh terhadap kebijakan. Kekuasaan Negara
sekarang terlihat pada kemampuan negosiasi dan bargaining dengan aktor-aktor
dalam jaringan kebijakan. Para anggota jaringan mengakui kesamaan posisi dalam
proses kebijakan. 3) perpaduan antar
sumber daya publik dan privat, para aktor publik dan privat memanfaat satu
dengan yang lainnya untuk memperoleh sumber daya yang mereka tidak dapat
peroleh secara mandiri. Sebagai contoh menggunakan organisasi privat sebagai
pelaksana kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengatasi persoalan kemahalan
dan prosedur waktu penyelesaian serta isu akuntabilitas. Organisasi privat
meyakinkan Negara pada sejumlah projek yang menguntungkan kepentingan publik
tetapi tidak seperti penyelenggara keuangan di sektor swasta. 4) menggunakan multi instrument, maksudnya
dalam meningkatkan keiklasan untuk mengembangkan dan mempergunakan metode
tradisional dalam membuat dan melaksanakan kebijakan public. Dalam hal ini
sering terdapat intrumen secara tidak langsung, seperti menggunakan insentif
pajak untuk mempengaruhi perilaku daripada komado dan pengawasan regulasi yang
merubah perilaku.
Jika element ini mendefinisikan governance, Petter dan Pierre (1998)
menunjukkan bahwa NPM dan governance
membagi secara jelas sebuah kebaikan bersama “common ground”. Kedua model ini mengurangi peran tradisional dan
merupakan responsibilitas dari pegawai yang terpilih. Secara representative
masih memerlukan untuk menyusun tujuan-tujuan jangka panjang, membangun
jaringan, dan membantu instrumen sumberdaya publik dan privat, tetapi dominasi
aktor publik tidak dapat diperpanjang. Secara esensi NPM dan kepercayaan umum
pada diskusi governance berkeinginan
meningkatkan kekuatan dari kantor publik atau melegitimasi kegiatan wirausaha “entrepreneurial activity” pada jaringan
kebijakan.
Peningkatan pada kekuasaan tidak
hanya pada karakteristik NPM dan governance
tetapi juga menkreasi sharing permasalahan akuntabilitas. Jika pegawai publik
memiliki sedikit kekuatan dan responsibilitas, apakah ini fair atau
memungkinkan menyelenggarakan akuntabilitas pada kebijakan publik?. Jika
jawabannya tidak, siapa atau apa seharusnya diselenggarakan untuk mencapai
akuntabilitas kebijakan publik? NPM mentakel isu akuntabilitas dengan
menggunakan pengaruh kekuatan penawaran dan permintaan. Para penyedia layanan
public seharusnya bersaing dengan provider lain untuk memberikan kepuasan
permintaan klien. Hal ini bagaimanapun meredifisikan daripada menyelesaikan
persoalan akuntabilitas (Peter dan Pierre, 1998). Sebuah homogenitas kelompok
klien tidak membutuhkan kehadiran kebijakan dan menginginkan pelayanan luas
dari para pembayar pajak yang menempatkan tagihan pada pelayanan publik yang
mereka terima. Jika para penyedia pelayanan publik menyelenggarakan
akuntabilitas untuk pra klien mereka, permasalahan rendahnya regulasi
meningkat, yang mana para penyedia layanan publik memberi keuntungan pada para
klien daripada melayani kepentingan publik.
Kesamaan lain dari NPM dan governance adalah bahwa keduanya
dianggap sebagai sebuah asumsi dimana pemerintah sangat kurang peka terhadap
warga Negara dan masyarakat, dan kemudian akibatnya agen mereka menjadi tidak
efisien dan tidak sopan (Peters dan Pierre, 2000). Meskipun kekuatan dari
globalisasi ekonomi condong mendorong pelaksanaan sektor swasta, lebih dapat
memperhatikan dan responsip pada kostumer mereka, dengan mengembagkan dan
mengadopsi instrument manajemen modern, penyelenggaraan pemerintah tidak
terjamah perubahan karena pemerintah lebih monopoli dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Kedua model memanfaatkan sarana kompetisi dalam memperbaiki
inefisiensi yang sudah menjadi ciri model birokrasi tradisional dan mendorong
para penyedia layanan publik menjadi lebih responsip pada warga yang mereka
layani. NPM dan governance juga
berorientasi pada hasil. Secara kontras model tradisional administrasi publik
juga berorientasi mengarah pada kontrol output daripada input. Memfokuskan diri
pada peningkatan produksi efisiensi dan kepuasan kostumer daripada ketersediaan
sumbedaya pada agen publik.
Akhirnya governance dan NPM mendekat pada konsep pengendalian, Osborne dan
Gaebler (1993) secara umum populer dengan keinginan tampilan pemerintah seharusnya
sebagai pengendali daripada penyelenggara, dimana pengendali maksudnya menyusun
sasaran kebijakan dan “row” maksudnya melakukan secara nyata tindakan dalam
mencapai sasaran. Seperti yang lainnya mereka membuat sedikit pembedaan antara governance dan NPM, Osborne dan Gaebler
berpendapat bahwa rowing lebih baik
diarahkan pada aktivitas wirausaha yang relevan dengan jaringan kebijakan
daripada secara langsung, disentralisasi oleh kegiatan manejemen pemerintah
mikro. Secara konsep hal ini mempertahankan official terpilih dan agen
birokrasi menjadi kuat sebagai pembuat kebijakan, tetapi secara praktis hali
ini memperburuk persoalan akuntabilitas terkait dengan NPM dan kreasi baru dari
persoalan manajemen untuk pemerintah. Jika seperti halnya NPM menurut Osborne
dan Gaebler menyatakan pemerintah miskin (a
poor job (nampak buruk)) dalam pekerjaan pengendali ketika mereka melakukan
pengendalian terpusat pada kebijakan dan provisi pelayanan, bagaimana mereka
dapat menghasilkan pekerjaan yang lebih baik sebagai pengendali, ketika banyak
kekuasaan mereka dipergunakan untuk menekan rangkaian kerja jaringan kebijakan.
Petter dan Pierre menyatakan pertanyaan ini merupakan kritism penting dalam
perdebatan governance dan bahwa NPM
tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Daftar berbagai kesamaan mungkin
dapat ditunjukkan sebagai sebuah kesepakatan baik dari tumpangtindihnya
argument konseptual pendukung NPM dan governance,
tetapi hal ini tidak bermaksud bahwa yang terdahulu sama dengan yang terakhir.
Petter dan Pierre (1998) menyebutkan meskipun hal ini lebih pada perbedaan
konstitusi ketimbang sejumlah pertanyaan meningkat dalam perdebatan governance yang mengarah pada NPM tidak
memiliki jawaban secara universal, pertanyaan yang fundamental untuk
memperlakukan governance dan NPM
sebagai hal yang berbeda dan terpisah dalam kerangka intelektual. Memulai
dengan menghadirkan konsep governance
sebagai sebuah hubungan antara pemerintah dan kekosongan masyarakat “the rest of society” hal ini selalu
menjadi bagian dan sebuah parsel demokrasi yang ramah. Demokrasi barat sebagai
sebuah contoh bekerja secara partner dengan sektor swasta. NPM secara berbeda
lebih pada ideologi, konstitusi sebagai sebuah pandangan normative sepesific
dari bagaimana hubungan seharusnya dilaksanakan. Inti NPM merupakan sebuah
upaya memasukkan nilai-nilai swasta ke dalam sektor publik. Ini terlihat tidak
mengarah pada nilai budaya atau peran sosial untuk sektor public dan dipisahkan
dari sektor swasta saja melalui tipe produk yang dihasilkan. Secara berbeda
sebagian visi governance mengakui
bahwa sektor public melaksanakan peran unik dalam mencapai dan mempromosikan
kesejahteraan bersama dari sebuah demokrasi yang menjadi harapan. Secara
konskwensi sebagian besar visi pemerintah mengakui perbedaan fundamental antara
sektor publik dan sektor swasta dan korporatising pada akhirnya memberi
implikasi luas pada peletakan demokrasi yang diharapkan.
Item kedua dari pemisahan merupakan
fokus substantif pada kedua model, governance
adalah berkaitan dengan proses, dan NPM berkaitan dengan outcome (dampak). Governance
berkonsentrasi pada pemahaman proses melalui hal mana kebijakan publik di
formulasikan, implementasikan dan dimanajemen. Ini tujuan penjelasan merupakan
identifikasi para aktor dan perannya dalam proses bersangkuan, dan menjelaskan
bagaimana perilaku mereka serta keterhubungan mereka dalam penyelenggaraan
provisi layanan publik. NPM mengurangi kepentingannya terkait dengan proses,
lebih konsen dengan bagaimana banyak (hasil) daripada bagaimana kebijakan
dibuat. Target penjelasan pada efisensi dan kepuasan kostumer, bahwa hal ini
untuk menerangkan bagaimana public good diberikan
harga melalui konsumen dengan biaya produksi seminimal mungkin. Proses
merupakan kejelasan, sebuah bagian dari misi penjelasan tapi hanya sebagai
upaya terakhir untuk menjelaskan produksi efisien.
Ketiga, Peter dan Pierre (1998)
menyatakan bahwa governance dan NPM
mengisi landasan philosophy yang berbeda. NPM secara esensial merupakan teori
organisasi, dibangun melalui literature institusional, secara khusus diterapkan
dalam teori pilihan publik, orientasi penjelasan dan konklusi preskriptif yang
memfokuskan diri pada stuktur organisas) . Selanjutnya seperti Osborne dan
Gaebler (1993) yang membentuk dan mempopulerkan NPM pada sebagian sarjana
seperti Buchanan dan Tullock (1962), Niskanen (1971) dan Ostrom (1973). Dalam
pilihan public, NPM penganjur sebuah temuan luar biasa dari sejumlah instrument
intelektual yang menawarkan sebuah alternatip komprehensif pada upaya
mengorganisasikan provisi pelayanan public dengan mempergunakan Model Weberian
Ortodok. Mereka dapat memimjam dari instrument yang bebas dan mengerjakan
sebuah model konstruksi yang berfokus pada reformasi organisasi dan institusi.
Secara berbeda governance sedikit
berkosentrasi pada isntitusi daripada untuk memahami hubungan antara pemerintah
dan masyarakat. Secara jelas komponen institusional mengarah pada berbagai
pemahaman tetapi governance adalah
sedikit tidak menyukai model Weberian dan secara sempurna menyediakan membentuk
lembaga preskreptif ketika dan dimana peluang itu ada. Governance secara esensial merupakan teori politik, atau sedikit
merupakan teori pembentuk teori politik. Yang menjadi sasaran adalah kewenangan
mengalokasikan nilai-nilai “authoritative
allocation of values” (David Easton’s definisi terkemuka dari politik)
sebagai sebuah sasaran terakhir, mencari penjelasan mengapa pemerintah
mengerjakan apa, apa dan menemukan bagaimana mengerjakan itu lebih baik?.
Perbedaan philosopy ini mengarahkan
pada empat perbedaan antara NPM dan governance,
sebagai sebuah teori yang menjangkau pemerintah dan masyarakat, governance menganjurkan budaya unik dan
peran politik dari public good dan
sektor publik. Karenya bekerja dengan sebuah kerangka kerja governance merupakan kepentingan dalam
menjaga provisi layanan publik dalam pengawasan pemerintah. Bentuk pengawasan
mungkin mengarah pada dorongan pemerintahan yang tertutup pada masyarakat dan
ini maksudnya mendelegasikan peran kebijakan publik secara luas pada sektor
swasta. Akhirnya bagaimana governance
berupaya menjaga garis tegas pada responsibilitas dan pengawasan antara
pelayanan publik dan staf public. Secara berbeda NPM berfokus dalam
mengantarkan sebuah perubahan pada sector public, meskipun governance berupaya membangun strategi yang memperkuat kapasitas
pemerintah dalam mengontrol sumberdaya sektor publik, NPM berkepentingan pada
model dasar manajemen publik sebagai sebuah upaya untuk merubah organisasi
Weberian orthodok dari administrasi publik tradisional.
Akhirnya mungkin ini lebih penting,
Peter dan Pierre berpendapat bahwa governance sebuah ideology bagi NPM. Dari sumber ini governance tidak menyebarkan ide-ide sama atau motivasi inti untuk
membawa sebuah pasar berlandaskan revolusi budaya di dalam sektor publik yang
merupakan karakteriktik dari NPM. NPM sebuah usaha mendekatkan pada pendekatan
nilai, sasaran, dan praktik pada provisi layanan publik, sebuah projek yang
menemukan kekuatan pembantu dan pendukung dalam lingkaran konservatif. Governance tidak hanya menyebarkan
ideology tujuan, menempatkan secara serius pertanyaan tentang apa yang
pemerintah seharusnya kerjakan dan bagaimana mengerjakannya dengan lebih baik,
tetapi jawaban tidak bersifat mudah dengan reformasi institusional berdasarkan
pasar. Governance seperti layaknya
memberi kekuasaan lebih pada agen pelayanan publik dan kekuatannya untuk
melakukan pengaturan koperatif yang luas dengan sektor swasta daripada
menghambat para agen untuk mempergunakan kekuasaan dan kekuatan mengkreasi
kompetisi pasar untuk pelayanan dan public
good.
Peter dan Pierre membuat sebuah
kekuatan kasus pemisahan governance dan
NPM sebagai pembedaan kerangka kerja intelektual, tetapi yang bekerja demikian
meninggalkan governance dalam sesuatu
yang tidak terdefinisikan sebagai sebuah teori. Meskipun hal ini mengupas
persoalan ideology, penempatan NPM dalam fondasi teoritis yang solid disuplai
oleh literatur pilihan public dan teori organisasi lainnya. Konsep Peter dan
Pierre governance juga meminjam teori
ini, tetapi juga merefleksikan dengan baik sebagian besar teori demokrasi.
Hasilnya memenuhi keinginan untuk memperkuat kasus bahwa governance merupakan sesuatu yang berbeda dari NPM, tetapi meskipun
demikian NPM muncul sebagai upaya mendefinisikan model manajemen publik
(sebagai salah satu pendukung penjelasan idiologi secara gambling), kesamaan
tidak dapat dikatakan sebagai governance.
Governance lebih menekankan atau
sedikit tidak menyukai model orthodox dari administrasi publik, dan menyatukan
tidak pada point khusus dari spektrum idiologi, tetapi sebagai teori daripada
sebagai sesuatu yang tidak jelas.
Berkenaan dengan hal ini,
bagaimanapun peran NPM dalam perdebatan governance
masih merupakan sesuatu yang memiliki nilai. Tumpang tindih governance memberikan para sarjana
sebuah definisi yang jelas tentang kerangka kerja intelektual untuk berkembang
menjadi isu perbaikan tidak untuk mengembangkan secara sempit. (221)
IV. Konjungsi administrasi – Governance adalah reposisi dari
Administrasi Publik
Governance bukanlah NPM, lalu apa?
Peter & Pierre (1998) menyimpulkannya melalui banyak jalan perdebatan
ringan tentang governance menunjukan bahwa, kalangan akademis menangkap
realitas dari perubahan waktu. Bertambahnya negara-negara yang terpisah dan
tumbuhnya keusangan dari kerangka kerja administrasi publik telah mendorong
disiplin ini untuk berusaha mencari pondasi intelektual baru dalam masa yang
kurang menyenangkan.
George Frederickson (1999b) menyebut
pencarian tersebut sebagai reposisi dari administrasi publik. Proses tersebut
dalam penentuan masa yang terbaik dari dua dekade, menghasilkan bentuk baru
dari administrasi publik, yang memiliki bahasa baru serta sebutan yang unik.
Reposisi administrasi publik George Frederickson menganjurkan perlunya sesuatu
yang melambagkan era ambang batas pada administrasi publik. Setengah abad
semenjak runtuhnya teori hegemony dalam administrasi publik, setalah decade
kolonisasi melalui teori original, pada disiplin lainnya (ekonomi, analisa
kebijakan, dan teori organisasi), pergerakan reposisi, adalah mengembangkan
jalur pemikiran teoritis yang berasal pada administrasi publik. Kontribusi
original tersebut langsung menangkap problem, dari governance dalam negara yang
terpecah.
Inti dari argumentasi reposisi
Frederickson dapat secara baik dideskripsikan melalui komparasi orientasi
teoritis terhadap ilmu politik, disiplin ilmu yang sangat dekat dengan
administrasi publik. Dalam ilmu politik, teori mengarah secara langsung pada
konflik kepentingan, kompetisi pemilihan, permainan strategi, dan pemenang dari
konflik kepentingan, kompetisi pemilihan, permainan strategi, serta yang kalah.
Dampak dari itu tidaklah mengejutkan untuk menemukan pilihan rasional, teori
pasar, teori game, dan variasi percabangannya, yang mungkin sejajar ataupun
dominan, sebagai erangka kerja intelektual dalam ilmu politik. Saat ini
administrasi publik, melalui pembagian kekuasaan pada negara, dengan mantap
bergerak dari kerangka kerja tersebut dan mengarahkan teori pada kooperasi,
networking, dan pembangunan institudi, serta pembaharuan. Dalam praktek dan
teori, administrasi publik, mereposisikan dirinya, untuk setuju pada tantangan
yang hebat dari pembagian kekuasaan negara. Frederickson (1999b) menyebut
tantangan tersebut adalah “bekerjanya ilmu politik dari pembuatan pembagian
kekuasaan dan disartikulasi negara” .
Tulisan ini adalah esensial,
bagaimana Frederickson mendefinisikan governance. Governance berhubungan pada
percabangan dan hubungan antar institusi, dalam administrasi dalam konteks
penurunan kedaulatan, berkurangnya batas yuridiksi yang penting, dan pemisahan
intitusi secara umum. Dari elemen dasar tersebut, hal terpenting dalam praktek
dn teori administrasi publik adalah kemunduran hubungan antara jurudiksi
politik, dan manajemen publik. Kelemahan dari ikatan disartikulasi tradisional,
secara terpusat berhubungan antara pemerintah dan provisi agen pelayanan
publik.
Dalam negara yang disartikulasi,
batasannya tidak lagi bermakna dalam juridiksi politik dari semua tipe seperti,
distrik khusus, kota, kabupaten, negara bagian, maupun negara. (Strange, 1995).
Aktifitas sosial dan ekonomi, adalah peningkatan multijuridiksional, adalah
trend yang didorong oleh pembangunan teknologi baru, globalisasi pada pangsa
pasar, peningkatan mobilitas tempat tinggal, dan imigrasi. Seseorang
dipekerjakan oleh perusahaan yang berkanto pusat secara fisik di Atalanta,
Georgia, dapat pula berkonsultasi dengan klien secara bersamaan ketika
bertelekomunikasi dari rumah di Lincoln, Nebraska. Problem kriminal sub urban,
mungkin berasal dari kondisi ekonomi,dari kota tetangga. Pulusi air dalam satu
negara, nungkin disatu sisi adalah produk dari aktifitas ekonomi. Keuntungan
dan problem dari kebijakan publik,dan manajemen publik, adalah secara keras
berupaya meningkatkan perbatasan dan batasan dari salah satu juridiksi politik,
karena banyak isu kebijakan yang relevan adalah multi juridiksi.
Trend saat ini penuh tantangan untuk
teori dan praktek dalam administrasi publik. Bagaimana kita akan mendefinisikan
manajemen publik ketika jurudiksi politik justru memiliki relevansi yang lemah
? Bagaimana kita akan mendefinisikan dan memahami manajemen publik, ketika
kedaulatan dalam kondisi yang amat meragukan ? bagaimana kita
mengkonseptualisasikan demokrasi yang representatif ketika keputusan pada pengaruh
repesentasi kesemuanya tidak terkontrol, mungkin tidak terpengaruh secara
merata, oleh siapa yang merepresentasikan mereka?. Bagaimana kondisi
administrasi publik, jika agen pemerintah yang tradisional tersebut berhubungan
dengan keputusan yang representatif pada preferensi yang direpresentasikan dari
reposisi mandiri yang setuju pada kesenjangan yang semakin membesar antara
pemerintah dan yang diperintah?
Kesemuanya itu adalah pertanyaan
dari governance, yang kesemuanya memotong jantung dari hubungan antara
pemerintah dan masyarakat dan fokus perhatian teori pada administrasi publik
diatas, problem dari manajemen publik dalam negara yang dis artikulasi.
Frederickson menyarankan konjunsi teori administrasi membantu penjelasan dan
memahamkan problem yang menjengkelkan dari terbentuknya governance dengan
meningkatnya disaltikurasi negara.
Teori konjungsi administrasi
terbangun dari dua obeservasi. Yang pertama diatribusikan pada Mattew Holden,
Jr (1964), yang menulis bahwa dalam hubungan antar pemerintah pada metropolitan
area di Amerika Serikat, dapat dilihat sebagai problem diplomasi. Dalam
pembagian area metropolitan, tindakan dari salah satu agensi atau pemerintah
daerah sangat mungkin merupakan efek aktir dalam jurudiksi lainnya.Dengan tanpa
kekuasaan yang terpusat, bagaimana bisa tindakan tersebut dikoordinasikan untuk
memastikan representasi yang efektif dan provisi pelayanan publik. Holden
berargumen bahwa system dan jaringan dari kerjasama berkembang melewati
yuridiksi, yang merupakan esensi pelayanan seperti halnya diplomasi dalam
pemerintahan negara. Sistem dan jaringan tersebut terkumpul dalam perjanjian
dan pemahaman yang mensinkronisasikan aktifitas pemerintah melewati yuridiksi,
yang diikutkan untuk fungsi halus dari kebijakan dan provisi pelayanan publik.
Observasi yang kedua, adalah
yuridiksi politik yang tetap penting, pada politik, rata-rata hal tersebut
kurang penting untuk administrasi. Politik dalam ranah kampanye, pemilihan,
kantor, dan hak, dalah tetap merupakan juridiksi. Elemen tersebut kebanyakan
merupakan otonomi dan secara garis besar hanya antar ketergantungan (kampanye
untuk pemimpin dalam satu kota sebagai contoh, hanya jarang memiliki akibat
pada kampanye pimpinan di daerah batas pinggiran wilayah). Pemahaman tersebut
dalam kewajaran sama sekali kontras dengan administrasi, yang mana hal tersebut
adalah antar ketergantungan yang sangat kuat, mendorong melemahnya juridiksi,
dan adanya ciri melalui pola organisasi dari “konjungsi” – pola sistematik dari
kerjasama dan koordinasi diantara dan diantaranya kegiatan administrasi.
Seperti halnya Frederickson (1999b:708) mendekripsikan hal tersebut, “konjungsi
administrasi adalah susunan dan karakter dari asosiasi formal dan informal
secara horisontal diantara aktor yang merepresentasikan unit dalam jaringan
publik dan prilaku lah administrasi dari aktor tersebut”
Pendorong untuk nelakukan konjungsi
antar agensi tersebut adalah berdasar atas hak otoritatif dari para pengetahuan
profesional yang terlatih dari pada mereka yang berdasarkan otoritas formal.
Konjungsi demikian semata-mata adalah pelaksanaan aktifitas melalui hal yang
disukai para profesional, khususnya fungsi khusus yang berhadapan dengan isu
khusus atau domain kebijakan. Hubungan diantara pelayanan fungsional khusus
kepada keduanya atau hubungan bersama unit administrasi melewati juridiksi dan
koordinasi kegitaan pemerintah dalam negara disartikulasi.
Frederickson menyarankan bahwa
kemampuan dari konjungsi administrasi untuk menentukan perintah dan provisi
pelayanan publik yang koheren tergantung kepada beberapa faktor. Faktor
tersebut termasuk ruang lingkup, kekuatan, dan durasi dari perjanjian formal
dan informal diantara hubungan antar yuridiksi aktor eksekutif. Secara formal,
negosiasi perjanjian adalah untuk menghasilkan penyatuan yang erat hasil
penjanjian informal dalam hubungan yang lemah diantara yuridiksi. Masih tanpa
menghiraukan apakah kerjasama merupakan mandat secara formal atau atas
persetujuan informal, banyak bentuk dari administrasi kesemuanya terorganisir,
dipelihara dan dioperasikan secara suka rela pelayanan publik yang profesional.
Poin terakhir yang ditulis sangat lah penting karena hal tersebut menyatakan
secara tidak langsung bahwa, dunia dari konjungsi memiliki sedikit hirarki,
sedikit biaya transaksi, dan tidak kelihatan kebutuhan restruktirisasi sektor
publik, ketika pasar diperkenalkan – seperti perilaku incentif. Otoritas pusat
dalam konjungsi dengan mudah ditempatkan oleh kerjasama secara sukarela dan
jaringan yang berkembang bebeas dari kepentingan dan nilai-nilai para
profesional.
Frederickson berpendapat, bahwa
sementara konjungsi itu sendiri adalah non hirarki, hirarki diperlukan untuk
eksistensi konjungsi. Konjungsi administratif tidak akan terjadi tanpa struktur
institusional, sebagaimana karakter tetap pada kebanyakan pemerintahan. Jika
struktur hirarki tersebut merupakan gagasan dari pembangunan politik melalui
pemberian yuridiksi, sehingga konjungsi administratif dapat menjadi gagasan
dari rentan dari jembatan penyebrangan yang menghubungkan pada bangunan
tersebut. Jembatan tersebut tidak akan berdiri jika bangunan tersebut runtuh.
Dan juga, walaupun banyakdiberi jembatan yang memberikan kesan terbatasnya
kapasitas daya angkut, mempertimbangkan sebagaimana umumnya jembatan
undang-undang yang kuat dan jaringan yang kapabel untuk koordinasi dan
kerjasama.
Dengan kuatnya mutivasi tersebut
yang datang dari nilai-nilai dan kepentingan profesional, serta kerjasama
diantara aktor institusi, hal tersebut adalah tujuan, konjungsi administrasi
adalah teori yang berdiri dalam kewajaran sama sekali kontras dengan NPM. NPM
menulis penekanan pada teori pasar, menekankan kepentingan pribadi dan
kompetisi, baik dari barang utama dalam menjelaskan perilaku hubungan antar
yuridiksi dari aktor dalam yuridiksi. Konjungsi nampaknya dikendalikan oleh
nilai-nilai dan kepercayaan para profesional pelayanan publik, dan membawa
secara halus dan pembelajaran pada naluri untuk membagi kerjasama kepada semua
pihak. Pkok-pokok yang mendasari konjungsi adalah konsep para profesional dari
kepentingan publik dan berkewajiban diantaranya pelayan publik untuk
merepresentasikan tataran awal diluar sisi publik dari partikular yuridiksi.
Pada hasil akhirnya adalah tidak hanya koorordinasi diantara variasi unit dari
negara yang disartikulasi, tetapi kemunculan kembali dari representasi yang
sarat makna adalah menyebarkan manfaat dari kantor terpilih batasan
yuridiksinya menjadi sedikit relevan pada problem kebijakan. Kantor terpilih
adalah siapa otoritas dan pengaruh termuat dalam batasan dari yuridiksi
politik, memiliki sedikit jalan untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh
counterpart mereka pada yuridiksi lainnya. Demikian pula warga kota boleh
mendapatkan keinginan mereka yang direpresentasikan dalam keputusan, sebagai
dampak mereka tingguhan dampakal hanya pada jembatan kunjungsi administrasi,
dimana fungsional khusus memiliki pengetahuan dan perjanjian menjadikan
kesadaran dari keputusan dalam yuridiksi lainnya, mengenali bagaimana
keseluruhan itu berdampak pada yuridiksi mereka sendiri, dan memungut
keuntungan dari perjanjian kerjasama yang menguntungkan untuk memastikan bahwa
perhatian ditujukan pada hubungan antar yuridiksi.
Teori konjungsi administrasi
bukanlah perenungan abstrak dari akademis. Hal tersebut merupakan dukungan
sesungguhnya dari variasi studi empiris (lihat Frederickson 1999b:708) yang
melaporkan bahwa tingginya rangking pemerintahan yang diangkat (kepala
departemen dan dibawahnya) membuang-buang kira-kira 15 persen waktu hubungan
mereka dalam aktifitas konjungsi. Hal itu adalah pembelajaran yang sedikit pada
konjungsi administrasi. Politik dalam banyak pemberian yuridiksi mungkin
menghasilkan dorongan penuh menentang kerjasama. Memberi interaksi personal
yang tinggi secara alami, diantara unit administrasi adalah sesuatu yang sepele
seperti halnya pertentangan personal diantara dua kepala departemen dapat
menjadi potensi kesempatan yang kuat dan suksesnya dari konjungsi. Studi
empiris mendukung bahwa teori administrasi konjungsi adalah sedikit tapi jauh
membatasi besarnya area urban. Kemampuan konjungsi sangat berguna untuk
menjelaskan dan membantu kita dalam memahami hubungan pemerintah dan masyarakat
pada tingkat yang lebih besar pada pemerintah atau negara masih terbuka untuk
digali.
Masih sama, ketika mengenal hal
tersebut tersebut terbatas dan permualan alami dari dukungan empiris hal
tersebut, teori dari konjungsi administrasi mendukung argumentasi Frederickson
tentang reposisi dari administrasi publik. Kekacauan yang membaur dari
peningkatan pembagian negara adalah membuktikan menjadi lahan yang subur
pemikiran asli dalam dalam administrasi publik, dan menunjukkan bagaimana
kerangka kerja asli pada administrasi publik dapat menjadi formula untuk
membantu penjelasan dan tujuan dengan cepatnya perubahan hubungan antara negara
dengan masyarakat.
V. Kesimpulan
Menghubungkan teori dan konsep
dengan kata “governance” adalah peningkatan pentingnya pada lembaga pendidikan
administrasi publik. Demikian masih ketika governance menjadi persamaan
sebenarnya untuk manajemen publik dan administrasi publik, hal tersebut
tidaklah persis secara jelas apakah governance tersebut. Pastinya, governance
adalah pusat dari catatan kebutuhan untuk mengubah hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat. Pertumbuhan dari pembagian atau kesenjangan negara telah
membawa tentang fundamen perubahan dlam proses dan sifat dari administrasi
publik, mengubah hal tersebut mempunyai konsep alternatif dari apa yang
sebaiknya pemerintah lakukan dan bagaimana sebaiknya jalan yang ditempuh untuk
melakukan hal tersebut.Hal tersebut mendorong lembaga pendidikan administrasi
publik untuk mencatat realitas terbaru dalam kerangka kerja intelektual mereka
dan beragam upaya dilakukan untuk dibawa keluar dibawah payung kebohongan dari
“governance”.
Diantara upaya tersebut, hal itu
sangat mungkin untuk mengidentifikasi sedikitnya tiga kenyataan dari
mengkonsepsikan governance; pertama governance adalah pengganti kata yang mudah
untuk administrasi puual blik dan pelaksanaan kebijakan. Demikian, teori
govenance adalah proyek intelektual usaha untuk menyatukan dari urutan-urutan
variasi intelektual berjalan melewati literatur multidisiplin didalam kerangka
kerja yang meliputi bidang area dari aktifitas pemerintah. Hal esensialnya
adalah posisi yang dipancangkan oleh Lynn et al 2000,2001). Kedua, governance
menyamakan pengelolaan atau pergerakan NPM. Hal ini adalah bukti-bukti khusus
dalam hubungan negara dengan model westminster, yang mana NPM mengikuti dari
usaha serius untuk mereformasi sektir publik melalui mendefinisikan dan
menjustifikasi, apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan, dan
menentukan provisi pelayanan public melalui penyerangan terhadp patologi
birokrasi. Ketiga, Governance adalah tubuh dari teori yang terdiri dari
hubungan sampingan, hubungan antar institusi, penurunan kedaulatan, pengurangan
hal-hal penting dari batasan juridiksi, dan secara pembagian institusi secara
umum.
Dari tiga pendekatan tersebut. Yang
pertama adalah ambisius. Menyatukan besarnya literatur yang melebar melewati
beberapa disiplion melalui penyaringan adalah tujuan utama dan metode dalam
mendefinisikan yang terbaik agenda riset, merupakan gran proyek dalam bidang
dan dari kompleksitas yang demikian besar. Jika sukses, hasilnya amat
menyakinkan. Semua sasaran tercakup, sementara hal tersebut juga merupakan
kelemahan, dari pendekatan governance. Targetnya terlalu besar, yang dicoba
untuk dicocokan dengan apapun dengan batasan intelektual yang menyebabkan
kerangka kerja kehilangan sifat hemat dan kejelasan. Difinisi dari governance
adalah bidang dan termasuk yang mana menjalankan resiko banyak kehilangan
makna., problemnya Lynn at al, secara implisit mengakuinya. Salah satu reviewer
memiliki poin lebih (lowery) ketika mereka bergerak dari pemeriksaan definisi
untuk bergulat dengan pembangunan model yang spesifik, Lynn at al, secara
drastis mempersempit ruang lingkup governance. Dalam operasinya modelnya
mendinginkan pada fokus satu variabel tergantung (kinerja agen atau outcame)
dan secara berat mendasarkan pada model ekonometrik yang memanfaatkan
pengaturan yang spesifik dari faktor input.
Sebagai alternatif, dan boleh jadi
lebih intuitif, konsepsi governance melekat pada pergerakan reformasi manajemen
global. Hubungan antara publik dan sektor privat menjadi semakin kabur dan pembuatan
kebijakan tradional dan prosesnya diarahkan kembali dan sama sekali
ditinggalkan, pertanyaan alami terbangun tentang tujuan dari governance, dan
metode yang dipergunakan untuk menyempurnakan tujuan tersebut. Dari perpektif
managerialism, yang terakhir memotong jantung konsep dari governance. Hal itu
sulit sementara untuk melihat bagaimana untuk melihat pendekatan reformasi
managemen yang spesifik salah satunya dengan banyaknya variasi seperti NPM,
dapat memposisinya dirinya sebagaimana jawaban komprehensif dari semua
pertanyaan tersebut.
Rasa-rasanya untuk membawa arus dari
pembangunan teori didalam suatu pendekatan advokasi idologi governance;
governance mencakup nilai nilai badan hukum dan prakteknya, dari sektor publik.
Apapun motivasi sesuangguhnya (Kettl 2000,51) menyampaikan bahwa pergerakan
reformasi manajemen global telah terlatih, yang mana pada gilirannyaakhir dari
kewajaran politik, “banyak pemimpin negara mengajukan reformasi manajemen untuk
membangun administrasi dan penyampaian pelayanan. Konsep Lynn et al, mungkin
terlalu membidangi intelektual, tetapi konsep NPM dari governance mungkin
terlalu sempit dalam perpolitikan. Piter dan pierre berpendapat NPM dan
governance saling tumpang tindih, tetapi keduanya tidak dapat bermakna, bahwa keduanya
adalah sama.
Hal ini ada dalam governance
merupakan usaha untuk memahami hubungan sampingan, hubungan antar institusi
dalam administrasi dalam konteks disartikulasi negara. Seperti halnya
pendekatan lainnya, hal ini secara eksplisit berupaya untuk mengambil fakta
dari pemabian negara kedalam gambaran penjelasan yang kohern. Hal itu kuat pada
basis empiris,dan hal tersebut demikian besar memprediksi pada usaha
mengidentifikasi pola sistematik dalam mengoservasi apa yang administrator
nyata harus lakukan. Hal ini kontras dengan dengan pencarian untuk penyatuan
urutan dalam apa temuan beberapa tinjauan literatur dikarakterisasikan melalui
teori pluralism, atau pengenaan dari apa penemuan lainnya seperti kerangka
kerja ideologi pada sektor publik (NPM). Meskipun progres meningkat pada bagian
depan, pendekatan pada governance meninggalkan negara berkembang. Teori dari
konjungsi administrasi menunjukkan kemungkinannya untuk pembangunan teori yang
asli pada administrasi publik, yang memegang pertanyaan penting dari
governance. Pendekatan ini rasa-rasanya menjaga persetujuan yang baik dari
perjanjian, tetapi persetujuan yang baik dari pekerjaan ditinggalkan, dan
menjadi dikerjakan jika janji tersebut dapat terpenuhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar