Sabtu, 21 Juni 2014

Pengertian Governance



Gede Sandiasa dkk

Terjemahan Theories of Governance

From Book "The Public Administration Theory Primer"

H. George Frederickson & Kevin B. Smith

I. Pendahuluan

Kebutuhan Administrasi Publik

Terhadap Teori Governance

Selama perempat akhir abad ini, demokrasi terindustrialisasi telah menyaksikan pergeseran fundamental dalam tujuan-tujuan dan metode-metode pemerintahan. Berbagai macam elemen dirangkai untuk menghasilkan perubahan berikut:kenaikan defisit, stagnansi ekonomi, ketidakpuasan terhadap janji-janji negara kesejahteraan yang hanya kadang-kadang dipenuhi, dan perasaan umum bahwa pemerintah melanggar kebebasan individu. Hal ini berkebalikan dengan karakteristik tren yang muncul pada perkembangan pasca Perang Dunia II, pemerintahann-pemerintahan pada tahun 1970an, 1980an, dan 1990an menjadi kurang hirarkis, terdesentralisasi, dan lebih berkeinginan untuk menanggalkan peran mereka sebagai pelaku dominan kepada sektor swasta (Kettl 2000).

Perubahan-perubahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai cakupan dan sifat dari administrasi publik, baik sebagai profesi maupun sebagai disiplin kesarjanaan. Hampir sepanjang abad 20, administrasi publik sempat bersinonim dengan birokrasi, hirarki, dan akuntabilitas. Meskipun masa keemasan hegemoni teoritis dalam administrasi publik telah ambruk pada dekade 1950an dibawah gempuran gabungan Waldo, Simon, dan lain-lain, kemunduran dari dikotomi politik-administrasi sebagai prinsip pengorganisiran inti disiplin tidak mengubah watak konstitusional maupun institusional dari pemerintah. Kerutuhan teori ortodoks berarti bahwa birokrasi-birokrasi dalam yurisdiksi-yurisdiksi kebijakan terpusat tidak lagi bisa dianggap diluar atau diatas politik, namun hal-hal itu tetap menjadi penyuplai-penyuplai pusat atas barang-barang umum dan tetap mendefinisikan akan teori administrasi apa yang digunakan sebagai penjelas. Pluralisme teoritis berikut bergelut dengan keberhasilan campuran dalam menjelaskan hubungan birokrasi yang baru diakui dengan legislatif, eksekutif, dan unsur kebijakan lainnya, namun hubungan-hubungan tersebut, persiapan-persiapan teknis yang menopangnya, dan peran dari pegawai negeri dalam mempertahankannya agar kurang lebih tak terjamah. Lanskap teoritis dari administrasi publik telah berubah namun kenyataan profesional dan empirisnya tetap stabil.

Stabilitas tersebut dijungkirbalikkan oleh gerakan berskala dunia untuk mengembangkan dan mengadopsi metode-metode alternatif dalam menjalankan kebijakan dan menyediakan layanan umum. Meskipun gerakan ini tidak diarahkan ataupun direncanakan secara terpusat serta sangat beraneka ragam dalam spesifikasi-spesifikasinya, gerakan tersebut dicirikan oleh beberapa elemen inti yang umum. Hal ini mencakup adopsi manajemen berbasis pasar dan teknik-teknik alokasi sumber daya, ketergantungan yang meningkat atas organisasi-organisasi sektor swasta untuk memberikan layanan-layanan umum, upaya berkesinambungan dan seksama untuk memperkecil dan mendesentralisasikan peran pemerintah sebagai aktor kebijakan utama dalam masyarakat.

Perubahan-perubahan ini menjadi lebih dari sekedar corak reforma administrasi yang lain. Tak hanya watak pemerintahan sendiri yang dipertanyakan dan diubah melainkan juga kekuasaan dan kewenangan dari kota, negara, dan negara-kota menjadi kian kurang jelas batasnya, serta semakin menyatu dengan yurisdiksi dan sektor swasta lainnya. Administrasi negara kini semakin kurang birokratis , hirarkis, dan tidak begitu tergantung pada kewenangan pusat untuk memberi perintah dalam mengambil suatu tindakan. Akuntabilitas yang diterapkan untuk bisnis publik semakin terkait dengan performa daripada melepas sasaran-sasaran spesifik dalam batasan hukum (Moe dan Gilmour 1995). Dua puluh tahun terakhir ini telah menandai bangkitnya “negara hampa,” suatu metafora untuk pemerintah yang membuat kontrak pendanaan layanan publik dengan jaringan (yang sebagian besar berupa) organisasi-organisasi nirlaba dan mengurangi perannya sebagai penyedia langsung dari barang-barang umum (Milward dan Provan 2000b, 240). Selain itu juga ada peningkatan “kebijakan-kebijakan publik dan program-program di Amerika Serikat (AS) serta di tempat lainnya yang dikelola...melalui jejaring negara bagian, wilayah-wilayah, distrik-distrik khusus, area-area penyedia layanan, kantor-kantor lokal, organisasi-organisasi nirlaba, kerjasama, jaringan, dan cara-cara lain untuk mengontrol dan mengoordinasikan aktivitas-aktivitas yang tersebar” (Lynn, Heinrich, dan Hill 2001, 1).

Perubahan-perubahan ini menantang sejumlah teori administrasi publik yang sudah ada karena membentuk ulang konsep tersebut tepat pada jantung disiplin ilmunya. Secara tradisional, sebenarnya kata “publik” dalam administrasi publik bermakna pemerintah. Seiring dengan berubahnya peran tradisional pemerintah, dan dugaan-dugaan terkait bagaimana peran tersebut dijalankan, administrasi publik dipaksa untuk mendefinisikan dan memposisikan ulang baik dalam praktek maupun sebagai bidang ilmu kesarjanaan. Untuk mengimbangi kenyataan baru, sarjana-sarjana administrasi publik dipaksa untuk memikirkan kembali disiplin ilmu mereka dan juga landasan-landasan teoritisnya. Negara hampa secara harafiah mendefinisikan ulang apa makna “publik” dalam administrasi publik. Minimal, definisi publik kini harus mencakup varian luas dari institusi dan organisasi yang secara tradisional dianggap di luar ranah pemerintah, sebagaimana hubungan yang dimiliki organisasi-organisasi tersebut baik satu sama lain maupun dengan otoritas-otoritas pembuat kebijakan. Definisi baru ini meningkatkan jumlah dan kompleksitas dari sasaran-sasaran penjelas yang harus dijabarkan teori-teori administrasi publik.

Ekspansi area kesarjanaan administrasi publik dicerminkan dalam meningkatnya ketertarikan dalam konsep pemerintahan, baik sebagai suatu gagasan maupun sebagai deskripsi umum atas studi administrasi publik. Memang, terminologi “pemerintahan” kian diwakili oleh istilah “administrasi publik” atau “manajemen publik” dalam wacana-wacana terkemuka dari disiplin ilmu terkait.(Kettl 2000, Salamon 10989, garvey 1997, Peters dan Pierre 1998). Perubahan linguistik dari administrasi publik menjadi studi mengenai pemerintahan mengakui adanya kenyataan-kenyataan baru dalam administrasi negara serta menghadapi orientasi teori yang baru dalam disiplin ilmu tersebut. Garvey (1997), misalnya, menggunakan pemerintahan sebagai cara untuk membedakan antara ortodoksi administrasi publik yang dibangun di atas prinsip-prinsip dikotomi administrasi politik (dan didefinisikan sebagai kepakaran, seleksi prestasi, spesialisasi, pembangunan institusi, dan ilmu manajemen), serta suatu teori baru administrasi publik berdasarkan pemahaman bahwa jaringan-jaringan yang disebarluaskan kini kian bertanggung jawab untuk menyediakan layanan publik. Konsep-konsep pemerintahan tersebut memperluas dan membuat tantangan pengembangan teori administrasi publik menjadi kian kompleks. Selain itu konsep-konsep demikian dinyatakan lebih valid secara empiris dalam memahami bagaimana sebenarnya program-program pemerintah beroperasi, dalam menyediakan material-material konstruksi yang lebih bermanfaat untuk pembangunan teori daripada pemakaian sekian ortodoksi yang telah usang dan kian tidak relevan.

Meskipun kebutuhan teori administrasi publik untuk menjabarkan perubahan-perubahan dalam peran dan praktek pemerintah selama beberapa dekade terakhir telah diketahui secara meluas, namun masih belum jelas apakah teori pemerintahan ada untuk menjawab tantangan ini. Tidak diragukan lagi bahwa model birokrasi dan manajemen Weberian kini sudah semakin tidak relevan untuk administrasi publik namun setidaknya, model itu pernah, dan masih, menjadi seperangkat alat intelektual yang lebih tajam dibandingkan konsep pemerintahan yang masih kabur. Meskipun kepemerintahan kini hampir sinonim dengan administrasi publik, banyak wacana yang menganggap “kepemerintahan” tidak terlalu penting untuk didefinisikan, karena rupanya diasumsikan bahwa maknanya sudah secara alami dan secara intuitif dimengerti (Osborne dan Gaebler 1993). Sebagai suatu penganti teori, intuisi jelas tidak mungkin menyediakan penggunaan disiplin ilmu yang bertahan lama.

Karena kekurangan definisi universal maka kepemerintahan kini lebih merupakan sebuah pengakuan atas kenyataan empiris dari masa yang berubah daripada sebagai bangunan teori yang koheren. Meskipun demikian, perdebatan dalam hal kepemerintahan masih terus berlangsung dan mungkin akan membentuk ulang administrasi publik sebagai disiplin ilmu kesarjanaan yang dipandang oleh sebagian pihak sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Sejumlah sarjana dengan cermat mencoba menangkap tujuan dan proses dari kenyataan-kenyataan baru dalam teori kepemerintahan. Proyek ini dijalankan dari berbagai macam sudut pandang dan tradisi intelektual. Disinilah dalam kemunculan bidang teori kepemerintahan, sarjana-sarjana administrasi publik bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan inti yang disebabkan oleh pertumbuhan negara terfragmentasi, yaitu: Apa peran negara dalam masyarakat? Bagaimana peran ini dijalankan? Apakah kenyataan-kenyataan baru dalam penyediaan layanan publik cukup bertanggungjawab dalam proses demokrasi? Bab ini membahas tema-tema dominan dalam perdebatan mengenai kepemerintahan dan potensinya dalam menyediakan disiplin ilmu dengan perangkat-perangkat teori yang diperlukan untuk memahami dan menjelaskan administrasi publik pada abad dua puluh satu.

Salah satu kontribusi di antara kontribusi-kontribusi terpenting terhadap munculnya wacana kepemerintahan adalah karya Laurence E. Lynn, Jr., Carolyn J. Heinrich, dan Carolyn J. Hill (1999, 2001; Heinrich dan Lynn 2000). Karya mereka merepresentasikan sintesis ambisius dalam bidang yang mencoba mengartikulasikan agenda penelitian meluas dan menyediakan kerangka kerja yang diperlukan untuk menjalankan agenda ini ke depan. Mereka menyarankan bahwa kepemerintahan merupakan suatu konsep dengan potensi menyatukan manajemen publik dan wacana kebijakan publik yang luas sekali, dengan menanamkan sasaran-sasaran eksplanatoris dan menandai kontribusi kritis dari penelitian besar. Lynn et al. (2000, 1) menyatakan bahwa pertanyaan dasar di jantung semua penelitian terkait kepemerintahan adalah “Bagaimana mungkin rezim-rezim sektor publik, agensi-agensi, program-program dan aktivitas-aktivitas diorganisir dan bisa memenuhi tujuan-tujuan publik?”

Dengan susunan administrasi yang kompleks dan menjadi ciri dari negara hampa, menjawab pertanyaan tersebut merupakan sebuah tantangan yang luar biasa sulit. Terdapat jumlah yang luar biasa banyak dalam ragam aturan, prosedur, organisasi, dan performa di antara entitas-entitas yang tersebar dan terdesentralisasikan dan kini terlibat dalam pembekalan layanan publik. Variasi ini muncul baik dalam dan antar yurisdiksi kota, negara bagian, dan bangsa. Apa penjelasan atas variasi ini? Apakah hal ini bersifat sistematis? Akankah pemahaman terhadap variasi ini membantu membuat administrasi publik dan strategi-strategi manajemen yang lebih baik? Suatu teori kepemerintahan bisa membantu menyediakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan administrasi publik suatu penanganan intelektual atas negara hampa. Lynn et al. Tidak mengklaim menciptakan teori tersebut namun lebih cenderung meletakkan fondasi sistematis terhadap studi kepemerintahan. Sasarannya lebih merupakan nasehat daripada petunjuk; hal ini menyarankan pendekatan-pendekatan terhadap atas desain penelitian dan interpretasi yang “akan mempromosikan penciptaan sebidang pengetahuan yang nilainya setara atau melampaui jumlah bagian-bagiannya yang banyak” (Lynn et al. 2001, 15).

Meskipun sasaran Lynn et al tidak menyertakan konstruksi kerangkakerja penjelas komprehensif, namun menawarkan hal-hal yang diperlukan dalam membangun teori lengkap. Hal ini diawali dengan definisi kepemerintahan sebagai “rezim atau hukum, peraturan administratif, kepenguasaan yudisial, dan praktek-praktek yang membatasi, merekomendasikan, dan memungkinkan aktivitas pemerintahan, dimana aktivitas-aktivitas demikian didefinisikan secara meluas sebagai produksi dan pemberian barang dan jasa yang didukung secara terbuka” (Lynn et al. 2000, 3). Definisi ini menyiratkan bahwa kepemerintahan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah namun saling terkait. Elemen-elemen ini meliputi struktur-struktur organisasional, finansial, dan programatis, statuta dan hukum, mandat-mandat politik, sumber daya-sumber daya yang tersedia, aturan-aturan administratif, serta aturan-aturan dan norma-norma yang terinstitusionalisasi.

II. Sebuah Model Governance Baru

Diantara banyaknya kontribusi penting yang diberikan pada literatur governance adalah karya Laurence E. Lynn, JR., Carolyn J. Heinrich dan Carolyn J. Hill (1999, 2001; Heinrich dan Lynn, 2000). Karya mereka mewakili sebuah sintesis ambisius dari bidang ini yang berusaha untuk menyampaikan sebuah agenda riset bercakupan luas dan menyediakan framework yang dibutuhkan untuk menjalankan agenda tersbeut. Mereka menyatakan bahwa governance adalah sebuah konsep yang memiliki potensi untuk menyatukan penyebaran literatur manajemen publik dan kebijakan publik, menginvestasikannya dalam tujuan-tujuan yang bersifat explanatory dan menandai sebuah kontribusi penting dari sejumlah besar riset. Lynn et al., (2000, 1) berpendapat bahwa pertanyaan dasar di jantung semua riset terkait governance adalah: “Bagaimana rezim sektor publik, agensi, program dan aktivitas dapat diorganisir dan dikelola untuk mencapai tujuan publik?”

Mengingat kompleksnya pengaturan administratif yang mengkarakterisasikan negara (hollow state), menjawab pertanyaan ini adalah sebuah tantangan yang luar bias asulit. Terdapat sejumlah besar variasi dalam aturan, prosedur, organisasi dan performa diantara beragam entitas yang tersebar dan terdesentralisasi yang kini terlibat dalam kaidah servis publik. Variasi ini terjadi di dalam dan antara yurisdiksi kota, negara dan bangsa. Apa yang dihitung dalam variasi ini? Apakah hal ini sistematis? Apakah memahami variasi ini akan dapat membantu dalam membentuk administrasi publik dan strategi manajemen yang lebih baik? Sebuah teori governance dapat membantu dalam memberikan jawaban untuk pertanyaan diatas dan memberikan sebuah pegangan intelektual bagi administrasi publik dalam negara (hollow state). Lynn et al., tidak mengklaim dapat menciptakan teori semacam ini, tapi mereka mencari cara untuk bisa melandaskan sebuah pondasi sistematik dalam studi governance. Tujuan mereka lebih bersifat advisory dan bukannya preskriptif; yakni untuk menyarankan pendekatan-pendekatan terhadap rancangan dan interpretasi riset yang “akan mempromosikan penciptaan sebuah badan pengetahuan yang nilainya setara atau melebihi jumlah dari gabungan bagian-bagiannya.” (Lynn et al., 2001, 15).

Meski tujuan Lynn et al., tidak termasuk pembentukan sebuah framework explanatory yang komprehensif, mereka menawarkan beberapa palang yang dibutuhkan untuk membangun sebuah teori full-blown semacam ini. Hal ini dimulai dengan sebuah definisi governance sebagai “rezim hukum, aturan administratif, kekuasaan yudisial dan prakteknya yang membatasi, menentukan dan mengijinkan terjadinya aktivitas pemerintahan, dimana aktivitas semacam ini didefinisikan secara luas sebagai produksi dan penyampain barang dan jasa yang didukung publik.” (Lynn et al., 2000, 3). Definisi ini mengimplikasikan bahwa governance terdiri atas elemen-elemen yang terpisah namun saling berhubungan satu sama lain. Elemen-elemen ini termasuk struktur organisasi, finansial dan programmatik; undang-undang dan hukum; mandat kebijakan; sumberdaya yang tersedia; aturan administratif dan aturan serta norma yang terinstitusionalisasi. Definisi ini juga mengimplikasikan bahwa governance secara inheren merupakan politik, yang melibatkan penawaran dan kompromi antar aktor dengan kepentingan yang berbeda, dan hal ini terdiri atas struktur formal serta pengaruh informal, dimana salah satunya dapat mengkarakterisasikan hubungan antara otoritas formal dan tingkah laku aktual dari operasi government-mandated (Lynn et al., 2001, 10).

Elemen-elemen kombinasi yang membentuk konsep governance Lynn et al dikatakan mendeskripsikan ends (akhir) dan means (cara) aktivitas pemerintahan dan bagaimana ends dan means ini saling berhubungan. Sebuah konfigurasi tertentu dari elemen-elemen ini adalah hal yang disebut sebagai “rezim governance”, dimana masing-masing rezim akan mencakup tatanan komponen yang luas dan menentukan penyediaan servis publik dalam area tertentu. Komponen-komponen ini termasuk domain kebijakan (misal., perlindungan lingkungan), tipe aktivitas pemerintahan (misal., regulasi), yurisdiksi tertentu (misal., sebuah negara) dan organisasi tertentu (misal., departemen sumberdaya alam/state department of natural resources). Pembentukan rezim-rezim ini adalah sebuah produk dari proses dinamis yang mereka sebut sebagai “logika governance”. Proses ini menghubungkan nilai (value) dan kepentingan warganegara dengan tindakan para legislatur, eksekutif dan pengadilan (Lynn et al., 1999). Mereka berpendapat bahwa kunci dari studi governance adalah tiba pada sebuah pemahaman sistematis dari proses ini dan hubungannya terhadap performa: “Permasalahan teoretis utama dalam riset governance adalah mengaplikasikan teks-teks teori, governance dan konsekuensi atau outcome” (Lynn et al., 2001, 17).

Lynn et al. menyatakan bahwa studi penelitian governance memiliki dua antesenden intelektual primer. Yang pertama adalah institusionalisme, khususnya seperti yang dipraktikkan oleh para akademisi public choice (pilihan rakyat). Badan literatur ini telah berulang kali mengkonfirmasi bahwa pengaturan struktural akan membentuk perilaku di dalam sebuah organisasi, menentukan performa sebuah organisasi dan struktur hubungannya dengan aktor eksternal. Yang kedua adalah studi jaringan. Badan literatur dalam jaringan menekankan “peranan multiple aktor sosial dalam jaringan negosiasi, implementasi dan penyampaian (delivery)” (O’Toole, 1993). Mengingat pondasi ini, maka tidaklah mengejutkan bahwa banyak elemen-elemen governance yang dideskripsikan oleh Lynn et al., sebagai entitas yang menyerupai elemen-elemen administrasi publik tradisional. Tapi governance adalah sebuah ide skala luas yang mensintesis dan mendorong ide-ide pokok dari literatur institusional dan jaringan serta menarik beberapa tradisi teoretis lain yang familiar bagi para akademisi administrasi publik.

Sama seperti teori jaringan, konsep Lynn et al. mengenai governance beroperasi dalam setidaknya tiga level yang berbeda: institusional, organisasional, dan teknis. Pada level institusional, terdapat aturan formal dan informal yang stabil, hierarki, batasan-batasan, prosedur-prosedur, nilai (value) rezim, dan otoritas. Memahami institusi menarik sejumlah pemikiran, termasuk public choice (pilihan rakyat), teori-teori yang berkenaan dengan kontrol birokrasi, dan teori atau filosofi-filosofi pemerintahan yang lebih luas. Level institusional dari governance ditujukan pada pemahaman pembentukan, adopsi dan implementasi kebijakan publik (khususnya yang terakhir disebut). Pada level organisasi atau manajerial, level governance adalah biro-biro hierarki, departemen-departemen, komisi-komisi, semua agensi eksekutif lainnya dan beragam organisasi non pemerintahan yang terhubung dengan otoritas publik dengan kontrak atau insentif /mandat lain. Memahami level governance ini akan menarik teori agensi, teori-teori insentif, teori leadership dan teori jaringan. Hal yang penting dalam level ini adalah memahami insentif, keleluasaan administratif, pengukuran performa, dan fungsional layanan sipil (atau agensi non pemerintahan). Level teknis dari governance mewakili lingkungan tugas, dimana kebijakan publik dilaksanakan pada level jalanan. Isu-isu profesionalisme, kompetensi teknis, motivasi, akuntabilitas dan performa adalah minat-minat utama dalam level teknis, yang menarik teknik analitik (dan teori-teori) efisiensi, manajemen, leadership organisasi, akuntabilitas, insentif dan pengukuran performa.

Mengingat besarnya dan kompleksnya governance yang dikarakterisasikan oleh Lynn et al., dan sketsa sintesis ambisius akademisi yang dibutuhkan untuk menghadapi subyek ini, memaksa sebuah tatanan kausal terhadap hubungan antara governance dan performa adalah sebuah tantangan teoretis dari sejumlah besar kompleksitas. Sebagai langkah pertama dalam memenuhi tantangan tersebut, Lynn et al. mendedikasikan sejumlah besar upaya untuk mengembangkan logika governance dalam membantu mendukung riset sistematik. Logika governance disajikan sebagai sebuah teori heuristik yang bertentangan dengan teori full-blown, dan terutama dilandaskan pada literatur ekonomi politik. Intensinya adalah untuk membantu dalam mendefinisikan sebuah agenda riset daripada memberikan sebuah penjelasan governance yang komprehensif.

Dalam bentuk yang lebih sederhana, Lynn et al. (2000, 15) memberikan logika governance mereka sebagai sebuah model yang mengambil bentuk sebagai berikut:

O = f [E, C, T, S, M]

Dimana:

O = Output/outcome. Produk akhir dari rezim governance.

E = faktor lingkungan. Entitas ini dapat meliputi struktur politik, level otoritas, performa ekonomi, adanya atau tidak adanya kompetisi antara supplier, level sumberdaya dan ketergantungan, framework legal, dan karakteristik dari sebuah populasi target.

C = karakteristik klien. Atribut, karakteristik dan perilaku klien.

T = perlakuan/treatment. Entitas ini adalah keping primer atau proses-proses inti organisasi di dalam rezim governance. Mereka akan termasuk misi dan tujuan organisasi, kriteria rekrutmen dan eligibilitas, metode untuk menentukan eligibilitas dan program treatments atau teknologi.

S = struktur. Entitas ini akan mencakup tipe, level koordinasi dan integrasi antara organisasi di dalam rezim governance, tingkatan kontrol tersentralisasi relatif, diferensiasi fungsional, aturan administratif atau insentif, alokasi anggaran, pengaturan atau hubungan kontraktual, dan kultur serta value/nilai institusional.

M = peranan dan tindakan manajerial. Hal ini termasuk karakteristik leadership, relasi staff-management, komunikasi, metode pengambilan keputusan, sehubungan dengan profesionalisme/karir, dan mekanisme monitoring, kontrol dan akuntabilitas.

Model bentuk sederhana ini dimaksudkan sebagai sebuah titik awal untuk riset empiris pada governance. Lynn et al. (2000, 15) dengan seksama mencari cara untuk membuat model yang fleksibel, dan mengetahui bahwa titik awal teoretis pengganti atau tujuan riset tertentu mungkin akan membutuhkan pemasukan variabel lain. Mereka juga mengetahui bahwa variabel explanatory di dalam model tidak selalu independen satu sama lain, dan mengeksplorasi inter-relasi diantara mereka adalah langkah berguna lain untuk para akademisi governance.

Meski konsep dan model mereka jelas bukan merupakan teori aksiomatik, pendekatan Lynn et al. terhadap governance dengan segera mengklarifikasikan beberapa isu penting untuk riset governance. Secara kritis, pendekatan mereka menanda sifat multilevel governance, hal yang tidak tercermin dengan baik dalam riset akademisi atau juga tidak sepenuhnya dikenali oleh para pendukung desentralisasi. Outcome dari reformasi skala besar apapun, baik itu buruk atau baik, akan tergantung pada keputusan yang dibuat di beragam level administrasi dan konteks dimana keputusan-keputusan ini dilaksanakan. Implikasi ini tampak jelas dalam persentasi governance Lynn et al, meski mereka banyak diabaikan oleh para arsitek reformasi. Lynn et all meminta studi penelitian yang memperhatikan pada sistem hierarkis organisasi pemerintah; studi yang menggunakan data dari multiple sources (sumber-sumber yang beragam) dan level analisa yang beragam pula dan yang menggunakan metodologi yang memungkinkan untuk menerapkan multi input data (Roderick, Jacob dan Bryk, 2000).

Konsep dan model governance Lynn et al., menyokong kebutuhan mereka untuk mendapatkan sebuah agenda riset yang ambisius dalam membantu menjelaskan dan meningkatkan performa negara administratif yang terdesentralisasi. Sebagai sebuah motivasi dan bimbingan/panduan terhadap riset, karya mereka sudah menghasilkan manfaat, tapi potensinya untuk matang menjadi sebuah teori yang full-blown masih dipertanyakan. Sebagai pengantar dari teori ini, argumen mereka memiliki dua permasalahan utama.

Pertama, dan yang paling penting, tidak satupun dari konsep ataupun model mereka secara khusus dapat dikatakan parsimoni. Model mereka “mendekati kritisisme ahli ekonomi terhadap ilmu politik: dengan memasukkan semua hal, maka seseorang beresiko menghasilkan penjelasan nol” (Ellwood, 2000). Bahkan sebagai sebuah teori heuristik, model mereka memasukkan semua (all-encompassing) sehingga penggunaannya sebagai sebuah panduan sistematis masih dipertanyakan. Bukannya menempatkan sebuah tatanan kausal pada governance, model ini mungkin tidak lebih dari sekadar memberikan daftar elemen-elemen konseptual yang luas dan dapat secara selektif disesuaikan untuk cocok dengan sebuah kasus tertentu. Hal ini adalah layanan yang berguna, tapi hal ini tidak memberikan penjelasan yang memadai untuk sebuah teori.

Permasalahan kedua adalah bahwa meskipun sebuah model yang lebih parsimoni dan lebih umum dapat dikonstruksikan dari elemen-elemen ini, hal ini mungkin tidak dapat menghasilkan kesimpulan umum. Rezim governance tampaknya dibentuk oleh domain kebijakan mereka, dan tipe kebijakan yang berbeda akan mengarah pada permasalahan governance yang berbeda pula. Apa yang bisa berguna untuk misalnya, kesejahteraan, mungkin tidak akan berguna untuk perlindungan lingkungan. Permasalahan dasar dari kebijakan publik bahwa hal ini secara inheren merupakan sebuah proses politik. Rancangan, implementasi dan administrasinya akan melibatkan berbagai aktor dengan berbagai tujuan dan agenda. Governance seperti yang diuraikan oleh Lynn et al., mengakui realitas ini dan tidak berusaha untuk menjelaskannya secara sistematis (Ellwood, 2000, 329-330).

Model Lynn et al. memiliki kesulitan teknis lainnya. Salah satunya adalah kesulitan dalam membujuk akademisi untuk mengadopsi metodologi riset yang lebih kompleks dan mengatasi sejumlah isu permasalahan pengukuran yang rumit. Misalnya, adalah satu hal untuk memasukkan sebuah konsep yang abstrak dan tidak didefinisikan dengan sempit seperti misalnya manajemen di dalam sebuah model heuristik, tapi secara empiris menangkap konsep tersebut dalam sebuah studi penelitian yang berusaha untuk menilai dampaknya terhadap performa agensi adalah hal yang lain lagi. Beberapa kesulitan lain dari mengumpulkan sejumlah besar target ke dalam sebuah agenda riset yang dikarakterisasikan dengan koherensi konseptual dan metodologis tampaknya tidak dikenali oleh Lynn et al. Mereka meminta penyempitan tindakan sejalan dengan pergerakannya dari sebuah ambisi konseptual yang luas menuju penanganan detil kesulitan dalam menempatkan visi tersebut dalam praktek. Secara operasional, model mereka dipindahkan ke dalam sebuah proposal untuk model ekonometrik kreatif dari performa atau output agensi (Lowery n.d).

Meski kita tidak mengabaikan permasalahan-permasalahan ini, kritisisme tersebut diatas bisa saja merupakan hal terlalu awal untuk diprediksikan. Lynn et al. tidak pernah mengklaim untuk memiliki sebuah teori governance yang sepenuhnya fungsional; tujuan mereka adalah untuk mengadopsi sebuah program riset yang secara teoretis dan empiris menanggapi governance kebijakan publik dan memberikan kontribusi untuk meningkatkan penciptaannya, implementasinya dan administrasi/penerapannya. Program riset ini telah menarik akademisi pada standar-standarnya (lihat Lynn et al., 2000).

III. Governance sebagai New Public Management

Kritism besar pendekatan Lynn et al’s bahwa predikat atas definisi governance meluas dan eksklusif kehilangan makna khususnya. Sebuah pendekatan alternatif sekumpulan pembatasan konsep melalui menyamakan governance dengan NPM, kadang-kadang dikenal sebagai dengan manejerilaism. NPM menjadi karakteristik manajemen publik global mereformasi gerakan yang meredifinisi hubungan antara masyarakat dan pemerintah.

Meskipun menajemen ini mereformasi gerakan memiliki sejumlah variasi melintasi dan mengemuka antara negara-bangsa, adalah merupakan tema universal. Dalam perluasan pandangan pada reformasi gerakan Donal Kettl (2000, 1-2) mengemukakan enam isu inti yang diprediksikan yaitu: 1) produktivitas, upaya reform merupakan suatu hal yang serius untuk memperkirakan pemerintah dapat bekerja, more with less dengan mempertahankan, atau meningkatkan pelayanan publik dengan investasi sumber yang rendah. 2) marketisasi, gerakan reformasi menjadi prestasi atas pemerintah dalam mempengaruhi mekanisme pasar yang menghadirkan patologi birokrasi tradisional. 3) orientasi service, salah satu dari tujuan umum dari reformasi adalah memperbaiki hubungan pemerintah dengan citizen dan memperbaiki kepuasan kostumer terhadap pelayanan publik. 4) desentralisasi, ini tidak hanya merupakan devolusi menengah dari kekuatan pengambilan keputusan ke arah level lebih rendah dari hirarki politik atau birokrasi tetapi juga merupakan upaya sadar untuk menempatkan pada siapa yang membuat keputusan kebijakan sebagai sesuatu yang tertutup menjadi mungkin bagi people (orang-orang) dapat memberi pengaruh dalam setiap keputusan. Tujuan menempatkan dari pemerintahan tertutup pada masyarakat dan membuatnya lebih sensitif dan responsip terhadap berbagai preferensi yang ada. 5) kebijakan, gerakan reformasi berupaya memperbaiki kapasitas pemerintah dengan mengkreasi, menginplementasi dan mengadministrasi kebijakan publik. 6) akuntabilitas, gerakan reform merupakan upaya agar membuat pemerintah melayani sesuai dengan apa yang menjadi janjinya.

Kettl (2000, 2-5) berpendapat dalam hatinya bahwa gerakan reformasi manajemen menghadirkan sebuah perdebatan tentang governance “apa yang seharusnya pemerintah lakukan? Bagaimana cara melakukannya dengan baik dalam mencapai tujuan ini? Kapasitas bagaimana yang diperlukan untuk hal ini. Gerakan manajemen reformasi dibangun atas gagasan pemerintah yang baik, yang diterjemahkan dari misi, peran, kapasitas dan hubungan kebutuhan (ketidakcukupan) kondisi kemakmuran ekonomi dan kesejahteran sosial. Pemerintahan dalam kontek tatakelola manajemen menjadi isu sentral dalam hubungan pemerintah dan masyarakat, dan mengevaluasi kembali serta mereformasi hubungan dalam persoalan utama NPM menghadirkan posisi fundamental dalam politik dari posisi administrasi (Kettl 2000, 36).

Kettl berpendapat bahwa terdapat berbagai alasan pemicu dan motivasi dari perdebatan kekuatan tata kelola di dalam kajian gerakan manajemen publik. Hal ini termasuk stagnasi ekonomi melalui berbagai pelaksanaan demokrasi di tahun 1970-an dan tahun 1980-an yang diikuti dengan over regulasi pemerintah, penurunan kepercayaan pada pemerintah terhadap pelaksanaan demokrasi politik selama periode yang sama dan pada masa berakhirnya perang dingin, yang mana beberapa Negara membangun infrastruktur administrasi publik model baru mengarah pada demokrasi politik dan kekuatan demokrasi pada dunia barat secara serius memikirkan kembali model tatakelola untuk pertama kalinya selama 50 tahun.

Semua elemen dikombinasikan untuk mengkreasi tekanan global untuk menguatkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Hasil penting dari perdebatn tatakelola menghadirkan NPM. Pemikiran yang menghadirkan berbagai varian NPM, secara mayoritas NPM terdiri dari 2 model, pertama, yaitu Westminster model yang secara orisinil terjadi di New Zealand pada tahun 1970-an dan secara cepat menyebar ke parlemen demokrasi lainnya seperti Australia, Canada, dan khususnya di Unitede Kingdom (UK). Kedua, model kewirausahaan pemerintah (reinventing model government), yang mana hadir terakhir dan secara unik di Amerika Serikat (US).

Kedua model ini tersebar dalam sebuah philosopy dasar, sebagai contoh memiliki karakteristik dalam enam isu Kettl teridentitifikasi sebagai inti gerakan reformasi manajemen. Secara mendasar adalah perbedaan institusi dan politik, serta sejarah antara gaya parlemen atau gaya Westminster demokrasi, dan system federal dari US mengesankan setiap model memiliki keunikan. New Zealand dan UK sebagai contoh sangat kuat dengan pemerintahan sentralisasi pada tahun 1970-an yang secara langsung dikendalikan oleh bagian penting dari ekonomi, termasuk transfortasi dan telekomunikasi. Karakteristik dari model Westminster menjangkau privatisasi dari Negara, mengontrol industry, pembagian pemerintahan menjadi unit-unit fungsional serta mendelegasikan kekuasaan pengambilan keputusan pada para aktor unit fungsional. Namun secara kontroversial mereka nampak tidak pernah antusias untuk melaksanakan nasionalisasi secara luas dari sektor ekonomi di US, hanya sedikit privatisasi. Dan karena pemerintahan local, Negara dan nasional di US membagi tanggungjawab lebih pada arena kebijakan dan merupakan subyek untuk membedakan motivasi politik, bukan pada kekuatan agen pusat, cukup pada kekuatan organisasi fungsional dalam skala yang mengarah pada model Westminster.

Sebuah hasil dari perbedaan ini, bahwa model Westminster memiliki karakteristik lebih fundamental dan sistemik sebagai upaya untuk mengidentifikasi apa yang pemerintah seharusnya dan seharusnya tidak dikerjakan, untuk menyelenggarakan kegiatan yang baik melalui sektor suasta dan mengkonsentrasikan pada upaya menemukan cara yang terbaik dalam menyelenggarakan sektor publik. Hal ini tidak berarti model pemerintahan wiraswasta seperti halnya model Westminster. Selanjunya berbagai cara dipertunjukkan lebih sebagai sebuah upaya radikal dalam system tata kelola “governance”. Walaupun reformasi Westminster memberi kekuasaan penuh pada administrator dalam sektor publik, kadang-kadang birokrat mengambil seluruh kewenangan pengambilan keputusan. Mereka lebih mengarah pada mengkreasi pengaturan kooperatif dalam kreasi jaringan provisi publik servis. Mewirausahakan pemerintah cenderung mendorong kompetisi pada kesepakatan yang luas dan perubahan fundamental dari regulasi peran pemerintah (Kettl, 200,7).

Walaupun variasi ini menekankan pada gerakan NPM sebuah perdebatan tentang governance, As Kettl (200, 31) menyatakan pada kedua administrasi sector privat dan sektor publik merupakan pusat dari kebutuhan untuk koordinasi social. Hal ini bagaimana para pemimpin secara luas bersama-sama dengan berbagai sumber daya yang berbeda; keuangan, SDM, keahlian, dan teknologi, dapat diselenggarakan, merupakan sesuatu yang tidak mudah “intricate dance” mengimplementasikan kebijakan publik dan program-program yang muncul sebagai representasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dan tatakelola merupakan ukuran dari cerminan hubungan tersebut. Karena NPM hadir sebagai sebuah usaha serius untuk menggambarkan, sebagai pemikiran kembali dan meperbaiki hubungan diantaranya selanjutnya sebagai model koheren dari governance.

Penyamaan governance dengan NPM menghindari kritism penting dari Lynn, et al, pendekatan memlaui pembatasan secara jelas atas konsep dan fokusnya pada definisi lebih baik yang reasonable model manajemen public. Beberapa berpendapat meskipun overlap antara NPM dan governance yang memiliki kemiripan, namun sebenarnya memiliki perbedaan yang fundamental diantara keduanya. Diantara sarjana yang menempatkan lebih sebagai upaya serius penempatan intelektual NPM dan governance sebagai dua konep yang terpisah, seperti B. Guy Peters dan John Pierre (1998, 2000). Petter dan Pierre memulai dengan menerima sebuah realitas bahwa peran pemerintah sebagai aktor pusat kebijakan public dan memiliki pengaruh besar pada ekonomi secara fundamental dirubah selama kurun waktu dua dekade. Perubahan sebagai persespsi secara fundamental meningkatkan hubungan antara sektor privat dan sektor publik dan mereka relatif berperan dan responsip memperbaiki pelayanan publik. Hubungan ini sebagai inti dari perdebatan governance.

Petter dan Pierre (1998) menyatakan empat element dasar karakteristik dari diskusi governance : 1) dominasi jaringan, sebagai ganti institusi pembuat kebijakan formal, governance didominasi melalui sebuah kesatuan koleksi kepemilikan pengaruh berbagai actor terhadap apa dan bagaimana public good dan service diselenggarakan. 2) pengurangan kekuatan control Negara, walaupun pemerintah tidak lagi memperluas penyelenggaraan pengawasan terpusat pada kebijakan publik, pemerintah masih memiliki kekuasaan yang berpengaruh terhadap kebijakan. Kekuasaan Negara sekarang terlihat pada kemampuan negosiasi dan bargaining dengan aktor-aktor dalam jaringan kebijakan. Para anggota jaringan mengakui kesamaan posisi dalam proses kebijakan. 3) perpaduan antar sumber daya publik dan privat, para aktor publik dan privat memanfaat satu dengan yang lainnya untuk memperoleh sumber daya yang mereka tidak dapat peroleh secara mandiri. Sebagai contoh menggunakan organisasi privat sebagai pelaksana kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengatasi persoalan kemahalan dan prosedur waktu penyelesaian serta isu akuntabilitas. Organisasi privat meyakinkan Negara pada sejumlah projek yang menguntungkan kepentingan publik tetapi tidak seperti penyelenggara keuangan di sektor swasta. 4) menggunakan multi instrument, maksudnya dalam meningkatkan keiklasan untuk mengembangkan dan mempergunakan metode tradisional dalam membuat dan melaksanakan kebijakan public. Dalam hal ini sering terdapat intrumen secara tidak langsung, seperti menggunakan insentif pajak untuk mempengaruhi perilaku daripada komado dan pengawasan regulasi yang merubah perilaku.

Jika element ini mendefinisikan governance, Petter dan Pierre (1998) menunjukkan bahwa NPM dan governance membagi secara jelas sebuah kebaikan bersama “common ground”. Kedua model ini mengurangi peran tradisional dan merupakan responsibilitas dari pegawai yang terpilih. Secara representative masih memerlukan untuk menyusun tujuan-tujuan jangka panjang, membangun jaringan, dan membantu instrumen sumberdaya publik dan privat, tetapi dominasi aktor publik tidak dapat diperpanjang. Secara esensi NPM dan kepercayaan umum pada diskusi governance berkeinginan meningkatkan kekuatan dari kantor publik atau melegitimasi kegiatan wirausaha “entrepreneurial activity” pada jaringan kebijakan.

Peningkatan pada kekuasaan tidak hanya pada karakteristik NPM dan governance tetapi juga menkreasi sharing permasalahan akuntabilitas. Jika pegawai publik memiliki sedikit kekuatan dan responsibilitas, apakah ini fair atau memungkinkan menyelenggarakan akuntabilitas pada kebijakan publik?. Jika jawabannya tidak, siapa atau apa seharusnya diselenggarakan untuk mencapai akuntabilitas kebijakan publik? NPM mentakel isu akuntabilitas dengan menggunakan pengaruh kekuatan penawaran dan permintaan. Para penyedia layanan public seharusnya bersaing dengan provider lain untuk memberikan kepuasan permintaan klien. Hal ini bagaimanapun meredifisikan daripada menyelesaikan persoalan akuntabilitas (Peter dan Pierre, 1998). Sebuah homogenitas kelompok klien tidak membutuhkan kehadiran kebijakan dan menginginkan pelayanan luas dari para pembayar pajak yang menempatkan tagihan pada pelayanan publik yang mereka terima. Jika para penyedia pelayanan publik menyelenggarakan akuntabilitas untuk pra klien mereka, permasalahan rendahnya regulasi meningkat, yang mana para penyedia layanan publik memberi keuntungan pada para klien daripada melayani kepentingan publik.

Kesamaan lain dari NPM dan governance adalah bahwa keduanya dianggap sebagai sebuah asumsi dimana pemerintah sangat kurang peka terhadap warga Negara dan masyarakat, dan kemudian akibatnya agen mereka menjadi tidak efisien dan tidak sopan (Peters dan Pierre, 2000). Meskipun kekuatan dari globalisasi ekonomi condong mendorong pelaksanaan sektor swasta, lebih dapat memperhatikan dan responsip pada kostumer mereka, dengan mengembagkan dan mengadopsi instrument manajemen modern, penyelenggaraan pemerintah tidak terjamah perubahan karena pemerintah lebih monopoli dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua model memanfaatkan sarana kompetisi dalam memperbaiki inefisiensi yang sudah menjadi ciri model birokrasi tradisional dan mendorong para penyedia layanan publik menjadi lebih responsip pada warga yang mereka layani. NPM dan governance juga berorientasi pada hasil. Secara kontras model tradisional administrasi publik juga berorientasi mengarah pada kontrol output daripada input. Memfokuskan diri pada peningkatan produksi efisiensi dan kepuasan kostumer daripada ketersediaan sumbedaya pada agen publik.

Akhirnya governance dan NPM mendekat pada konsep pengendalian, Osborne dan Gaebler (1993) secara umum populer dengan keinginan tampilan pemerintah seharusnya sebagai pengendali daripada penyelenggara, dimana pengendali maksudnya menyusun sasaran kebijakan dan “row” maksudnya melakukan secara nyata tindakan dalam mencapai sasaran. Seperti yang lainnya mereka membuat sedikit pembedaan antara governance dan NPM, Osborne dan Gaebler berpendapat bahwa rowing lebih baik diarahkan pada aktivitas wirausaha yang relevan dengan jaringan kebijakan daripada secara langsung, disentralisasi oleh kegiatan manejemen pemerintah mikro. Secara konsep hal ini mempertahankan official terpilih dan agen birokrasi menjadi kuat sebagai pembuat kebijakan, tetapi secara praktis hali ini memperburuk persoalan akuntabilitas terkait dengan NPM dan kreasi baru dari persoalan manajemen untuk pemerintah. Jika seperti halnya NPM menurut Osborne dan Gaebler menyatakan pemerintah miskin (a poor job (nampak buruk)) dalam pekerjaan pengendali ketika mereka melakukan pengendalian terpusat pada kebijakan dan provisi pelayanan, bagaimana mereka dapat menghasilkan pekerjaan yang lebih baik sebagai pengendali, ketika banyak kekuasaan mereka dipergunakan untuk menekan rangkaian kerja jaringan kebijakan. Petter dan Pierre menyatakan pertanyaan ini merupakan kritism penting dalam perdebatan governance dan bahwa NPM tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan.

Daftar berbagai kesamaan mungkin dapat ditunjukkan sebagai sebuah kesepakatan baik dari tumpangtindihnya argument konseptual pendukung NPM dan governance, tetapi hal ini tidak bermaksud bahwa yang terdahulu sama dengan yang terakhir. Petter dan Pierre (1998) menyebutkan meskipun hal ini lebih pada perbedaan konstitusi ketimbang sejumlah pertanyaan meningkat dalam perdebatan governance yang mengarah pada NPM tidak memiliki jawaban secara universal, pertanyaan yang fundamental untuk memperlakukan governance dan NPM sebagai hal yang berbeda dan terpisah dalam kerangka intelektual. Memulai dengan menghadirkan konsep governance sebagai sebuah hubungan antara pemerintah dan kekosongan masyarakat “the rest of society” hal ini selalu menjadi bagian dan sebuah parsel demokrasi yang ramah. Demokrasi barat sebagai sebuah contoh bekerja secara partner dengan sektor swasta. NPM secara berbeda lebih pada ideologi, konstitusi sebagai sebuah pandangan normative sepesific dari bagaimana hubungan seharusnya dilaksanakan. Inti NPM merupakan sebuah upaya memasukkan nilai-nilai swasta ke dalam sektor publik. Ini terlihat tidak mengarah pada nilai budaya atau peran sosial untuk sektor public dan dipisahkan dari sektor swasta saja melalui tipe produk yang dihasilkan. Secara berbeda sebagian visi governance mengakui bahwa sektor public melaksanakan peran unik dalam mencapai dan mempromosikan kesejahteraan bersama dari sebuah demokrasi yang menjadi harapan. Secara konskwensi sebagian besar visi pemerintah mengakui perbedaan fundamental antara sektor publik dan sektor swasta dan korporatising pada akhirnya memberi implikasi luas pada peletakan demokrasi yang diharapkan.

Item kedua dari pemisahan merupakan fokus substantif pada kedua model, governance adalah berkaitan dengan proses, dan NPM berkaitan dengan outcome (dampak). Governance berkonsentrasi pada pemahaman proses melalui hal mana kebijakan publik di formulasikan, implementasikan dan dimanajemen. Ini tujuan penjelasan merupakan identifikasi para aktor dan perannya dalam proses bersangkuan, dan menjelaskan bagaimana perilaku mereka serta keterhubungan mereka dalam penyelenggaraan provisi layanan publik. NPM mengurangi kepentingannya terkait dengan proses, lebih konsen dengan bagaimana banyak (hasil) daripada bagaimana kebijakan dibuat. Target penjelasan pada efisensi dan kepuasan kostumer, bahwa hal ini untuk menerangkan bagaimana public good diberikan harga melalui konsumen dengan biaya produksi seminimal mungkin. Proses merupakan kejelasan, sebuah bagian dari misi penjelasan tapi hanya sebagai upaya terakhir untuk menjelaskan produksi efisien.

Ketiga, Peter dan Pierre (1998) menyatakan bahwa governance dan NPM mengisi landasan philosophy yang berbeda. NPM secara esensial merupakan teori organisasi, dibangun melalui literature institusional, secara khusus diterapkan dalam teori pilihan publik, orientasi penjelasan dan konklusi preskriptif yang memfokuskan diri pada stuktur organisas) . Selanjutnya seperti Osborne dan Gaebler (1993) yang membentuk dan mempopulerkan NPM pada sebagian sarjana seperti Buchanan dan Tullock (1962), Niskanen (1971) dan Ostrom (1973). Dalam pilihan public, NPM penganjur sebuah temuan luar biasa dari sejumlah instrument intelektual yang menawarkan sebuah alternatip komprehensif pada upaya mengorganisasikan provisi pelayanan public dengan mempergunakan Model Weberian Ortodok. Mereka dapat memimjam dari instrument yang bebas dan mengerjakan sebuah model konstruksi yang berfokus pada reformasi organisasi dan institusi. Secara berbeda governance sedikit berkosentrasi pada isntitusi daripada untuk memahami hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Secara jelas komponen institusional mengarah pada berbagai pemahaman tetapi governance adalah sedikit tidak menyukai model Weberian dan secara sempurna menyediakan membentuk lembaga preskreptif ketika dan dimana peluang itu ada. Governance secara esensial merupakan teori politik, atau sedikit merupakan teori pembentuk teori politik. Yang menjadi sasaran adalah kewenangan mengalokasikan nilai-nilai “authoritative allocation of values” (David Easton’s definisi terkemuka dari politik) sebagai sebuah sasaran terakhir, mencari penjelasan mengapa pemerintah mengerjakan apa, apa dan menemukan bagaimana mengerjakan itu lebih baik?.

Perbedaan philosopy ini mengarahkan pada empat perbedaan antara NPM dan governance, sebagai sebuah teori yang menjangkau pemerintah dan masyarakat, governance menganjurkan budaya unik dan peran politik dari public good dan sektor publik. Karenya bekerja dengan sebuah kerangka kerja governance merupakan kepentingan dalam menjaga provisi layanan publik dalam pengawasan pemerintah. Bentuk pengawasan mungkin mengarah pada dorongan pemerintahan yang tertutup pada masyarakat dan ini maksudnya mendelegasikan peran kebijakan publik secara luas pada sektor swasta. Akhirnya bagaimana governance berupaya menjaga garis tegas pada responsibilitas dan pengawasan antara pelayanan publik dan staf public. Secara berbeda NPM berfokus dalam mengantarkan sebuah perubahan pada sector public, meskipun governance berupaya membangun strategi yang memperkuat kapasitas pemerintah dalam mengontrol sumberdaya sektor publik, NPM berkepentingan pada model dasar manajemen publik sebagai sebuah upaya untuk merubah organisasi Weberian orthodok dari administrasi publik tradisional.

Akhirnya mungkin ini lebih penting, Peter dan Pierre berpendapat bahwa governance sebuah ideology bagi NPM. Dari sumber ini governance tidak menyebarkan ide-ide sama atau motivasi inti untuk membawa sebuah pasar berlandaskan revolusi budaya di dalam sektor publik yang merupakan karakteriktik dari NPM. NPM sebuah usaha mendekatkan pada pendekatan nilai, sasaran, dan praktik pada provisi layanan publik, sebuah projek yang menemukan kekuatan pembantu dan pendukung dalam lingkaran konservatif. Governance tidak hanya menyebarkan ideology tujuan, menempatkan secara serius pertanyaan tentang apa yang pemerintah seharusnya kerjakan dan bagaimana mengerjakannya dengan lebih baik, tetapi jawaban tidak bersifat mudah dengan reformasi institusional berdasarkan pasar. Governance seperti layaknya memberi kekuasaan lebih pada agen pelayanan publik dan kekuatannya untuk melakukan pengaturan koperatif yang luas dengan sektor swasta daripada menghambat para agen untuk mempergunakan kekuasaan dan kekuatan mengkreasi kompetisi pasar untuk pelayanan dan public good.

Peter dan Pierre membuat sebuah kekuatan kasus pemisahan governance dan NPM sebagai pembedaan kerangka kerja intelektual, tetapi yang bekerja demikian meninggalkan governance dalam sesuatu yang tidak terdefinisikan sebagai sebuah teori. Meskipun hal ini mengupas persoalan ideology, penempatan NPM dalam fondasi teoritis yang solid disuplai oleh literatur pilihan public dan teori organisasi lainnya. Konsep Peter dan Pierre governance juga meminjam teori ini, tetapi juga merefleksikan dengan baik sebagian besar teori demokrasi. Hasilnya memenuhi keinginan untuk memperkuat kasus bahwa governance merupakan sesuatu yang berbeda dari NPM, tetapi meskipun demikian NPM muncul sebagai upaya mendefinisikan model manajemen publik (sebagai salah satu pendukung penjelasan idiologi secara gambling), kesamaan tidak dapat dikatakan sebagai governance. Governance lebih menekankan atau sedikit tidak menyukai model orthodox dari administrasi publik, dan menyatukan tidak pada point khusus dari spektrum idiologi, tetapi sebagai teori daripada sebagai sesuatu yang tidak jelas.

Berkenaan dengan hal ini, bagaimanapun peran NPM dalam perdebatan governance masih merupakan sesuatu yang memiliki nilai. Tumpang tindih governance memberikan para sarjana sebuah definisi yang jelas tentang kerangka kerja intelektual untuk berkembang menjadi isu perbaikan tidak untuk mengembangkan secara sempit. (221)

IV. Konjungsi administrasi – Governance adalah reposisi dari Administrasi Publik

Governance bukanlah NPM, lalu apa? Peter & Pierre (1998) menyimpulkannya melalui banyak jalan perdebatan ringan tentang governance menunjukan bahwa, kalangan akademis menangkap realitas dari perubahan waktu. Bertambahnya negara-negara yang terpisah dan tumbuhnya keusangan dari kerangka kerja administrasi publik telah mendorong disiplin ini untuk berusaha mencari pondasi intelektual baru dalam masa yang kurang menyenangkan.

George Frederickson (1999b) menyebut pencarian tersebut sebagai reposisi dari administrasi publik. Proses tersebut dalam penentuan masa yang terbaik dari dua dekade, menghasilkan bentuk baru dari administrasi publik, yang memiliki bahasa baru serta sebutan yang unik. Reposisi administrasi publik George Frederickson menganjurkan perlunya sesuatu yang melambagkan era ambang batas pada administrasi publik. Setengah abad semenjak runtuhnya teori hegemony dalam administrasi publik, setalah decade kolonisasi melalui teori original, pada disiplin lainnya (ekonomi, analisa kebijakan, dan teori organisasi), pergerakan reposisi, adalah mengembangkan jalur pemikiran teoritis yang berasal pada administrasi publik. Kontribusi original tersebut langsung menangkap problem, dari governance dalam negara yang terpecah.

Inti dari argumentasi reposisi Frederickson dapat secara baik dideskripsikan melalui komparasi orientasi teoritis terhadap ilmu politik, disiplin ilmu yang sangat dekat dengan administrasi publik. Dalam ilmu politik, teori mengarah secara langsung pada konflik kepentingan, kompetisi pemilihan, permainan strategi, dan pemenang dari konflik kepentingan, kompetisi pemilihan, permainan strategi, serta yang kalah. Dampak dari itu tidaklah mengejutkan untuk menemukan pilihan rasional, teori pasar, teori game, dan variasi percabangannya, yang mungkin sejajar ataupun dominan, sebagai erangka kerja intelektual dalam ilmu politik. Saat ini administrasi publik, melalui pembagian kekuasaan pada negara, dengan mantap bergerak dari kerangka kerja tersebut dan mengarahkan teori pada kooperasi, networking, dan pembangunan institudi, serta pembaharuan. Dalam praktek dan teori, administrasi publik, mereposisikan dirinya, untuk setuju pada tantangan yang hebat dari pembagian kekuasaan negara. Frederickson (1999b) menyebut tantangan tersebut adalah “bekerjanya ilmu politik dari pembuatan pembagian kekuasaan dan disartikulasi negara” .

Tulisan ini adalah esensial, bagaimana Frederickson mendefinisikan governance. Governance berhubungan pada percabangan dan hubungan antar institusi, dalam administrasi dalam konteks penurunan kedaulatan, berkurangnya batas yuridiksi yang penting, dan pemisahan intitusi secara umum. Dari elemen dasar tersebut, hal terpenting dalam praktek dn teori administrasi publik adalah kemunduran hubungan antara jurudiksi politik, dan manajemen publik. Kelemahan dari ikatan disartikulasi tradisional, secara terpusat berhubungan antara pemerintah dan provisi agen pelayanan publik.

Dalam negara yang disartikulasi, batasannya tidak lagi bermakna dalam juridiksi politik dari semua tipe seperti, distrik khusus, kota, kabupaten, negara bagian, maupun negara. (Strange, 1995). Aktifitas sosial dan ekonomi, adalah peningkatan multijuridiksional, adalah trend yang didorong oleh pembangunan teknologi baru, globalisasi pada pangsa pasar, peningkatan mobilitas tempat tinggal, dan imigrasi. Seseorang dipekerjakan oleh perusahaan yang berkanto pusat secara fisik di Atalanta, Georgia, dapat pula berkonsultasi dengan klien secara bersamaan ketika bertelekomunikasi dari rumah di Lincoln, Nebraska. Problem kriminal sub urban, mungkin berasal dari kondisi ekonomi,dari kota tetangga. Pulusi air dalam satu negara, nungkin disatu sisi adalah produk dari aktifitas ekonomi. Keuntungan dan problem dari kebijakan publik,dan manajemen publik, adalah secara keras berupaya meningkatkan perbatasan dan batasan dari salah satu juridiksi politik, karena banyak isu kebijakan yang relevan adalah multi juridiksi.

Trend saat ini penuh tantangan untuk teori dan praktek dalam administrasi publik. Bagaimana kita akan mendefinisikan manajemen publik ketika jurudiksi politik justru memiliki relevansi yang lemah ? Bagaimana kita akan mendefinisikan dan memahami manajemen publik, ketika kedaulatan dalam kondisi yang amat meragukan ? bagaimana kita mengkonseptualisasikan demokrasi yang representatif ketika keputusan pada pengaruh repesentasi kesemuanya tidak terkontrol, mungkin tidak terpengaruh secara merata, oleh siapa yang merepresentasikan mereka?. Bagaimana kondisi administrasi publik, jika agen pemerintah yang tradisional tersebut berhubungan dengan keputusan yang representatif pada preferensi yang direpresentasikan dari reposisi mandiri yang setuju pada kesenjangan yang semakin membesar antara pemerintah dan yang diperintah?

Kesemuanya itu adalah pertanyaan dari governance, yang kesemuanya memotong jantung dari hubungan antara pemerintah dan masyarakat dan fokus perhatian teori pada administrasi publik diatas, problem dari manajemen publik dalam negara yang dis artikulasi. Frederickson menyarankan konjunsi teori administrasi membantu penjelasan dan memahamkan problem yang menjengkelkan dari terbentuknya governance dengan meningkatnya disaltikurasi negara.

Teori konjungsi administrasi terbangun dari dua obeservasi. Yang pertama diatribusikan pada Mattew Holden, Jr (1964), yang menulis bahwa dalam hubungan antar pemerintah pada metropolitan area di Amerika Serikat, dapat dilihat sebagai problem diplomasi. Dalam pembagian area metropolitan, tindakan dari salah satu agensi atau pemerintah daerah sangat mungkin merupakan efek aktir dalam jurudiksi lainnya.Dengan tanpa kekuasaan yang terpusat, bagaimana bisa tindakan tersebut dikoordinasikan untuk memastikan representasi yang efektif dan provisi pelayanan publik. Holden berargumen bahwa system dan jaringan dari kerjasama berkembang melewati yuridiksi, yang merupakan esensi pelayanan seperti halnya diplomasi dalam pemerintahan negara. Sistem dan jaringan tersebut terkumpul dalam perjanjian dan pemahaman yang mensinkronisasikan aktifitas pemerintah melewati yuridiksi, yang diikutkan untuk fungsi halus dari kebijakan dan provisi pelayanan publik.

Observasi yang kedua, adalah yuridiksi politik yang tetap penting, pada politik, rata-rata hal tersebut kurang penting untuk administrasi. Politik dalam ranah kampanye, pemilihan, kantor, dan hak, dalah tetap merupakan juridiksi. Elemen tersebut kebanyakan merupakan otonomi dan secara garis besar hanya antar ketergantungan (kampanye untuk pemimpin dalam satu kota sebagai contoh, hanya jarang memiliki akibat pada kampanye pimpinan di daerah batas pinggiran wilayah). Pemahaman tersebut dalam kewajaran sama sekali kontras dengan administrasi, yang mana hal tersebut adalah antar ketergantungan yang sangat kuat, mendorong melemahnya juridiksi, dan adanya ciri melalui pola organisasi dari “konjungsi” – pola sistematik dari kerjasama dan koordinasi diantara dan diantaranya kegiatan administrasi. Seperti halnya Frederickson (1999b:708) mendekripsikan hal tersebut, “konjungsi administrasi adalah susunan dan karakter dari asosiasi formal dan informal secara horisontal diantara aktor yang merepresentasikan unit dalam jaringan publik dan prilaku lah administrasi dari aktor tersebut”

Pendorong untuk nelakukan konjungsi antar agensi tersebut adalah berdasar atas hak otoritatif dari para pengetahuan profesional yang terlatih dari pada mereka yang berdasarkan otoritas formal. Konjungsi demikian semata-mata adalah pelaksanaan aktifitas melalui hal yang disukai para profesional, khususnya fungsi khusus yang berhadapan dengan isu khusus atau domain kebijakan. Hubungan diantara pelayanan fungsional khusus kepada keduanya atau hubungan bersama unit administrasi melewati juridiksi dan koordinasi kegitaan pemerintah dalam negara disartikulasi.

Frederickson menyarankan bahwa kemampuan dari konjungsi administrasi untuk menentukan perintah dan provisi pelayanan publik yang koheren tergantung kepada beberapa faktor. Faktor tersebut termasuk ruang lingkup, kekuatan, dan durasi dari perjanjian formal dan informal diantara hubungan antar yuridiksi aktor eksekutif. Secara formal, negosiasi perjanjian adalah untuk menghasilkan penyatuan yang erat hasil penjanjian informal dalam hubungan yang lemah diantara yuridiksi. Masih tanpa menghiraukan apakah kerjasama merupakan mandat secara formal atau atas persetujuan informal, banyak bentuk dari administrasi kesemuanya terorganisir, dipelihara dan dioperasikan secara suka rela pelayanan publik yang profesional. Poin terakhir yang ditulis sangat lah penting karena hal tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa, dunia dari konjungsi memiliki sedikit hirarki, sedikit biaya transaksi, dan tidak kelihatan kebutuhan restruktirisasi sektor publik, ketika pasar diperkenalkan – seperti perilaku incentif. Otoritas pusat dalam konjungsi dengan mudah ditempatkan oleh kerjasama secara sukarela dan jaringan yang berkembang bebeas dari kepentingan dan nilai-nilai para profesional.

Frederickson berpendapat, bahwa sementara konjungsi itu sendiri adalah non hirarki, hirarki diperlukan untuk eksistensi konjungsi. Konjungsi administratif tidak akan terjadi tanpa struktur institusional, sebagaimana karakter tetap pada kebanyakan pemerintahan. Jika struktur hirarki tersebut merupakan gagasan dari pembangunan politik melalui pemberian yuridiksi, sehingga konjungsi administratif dapat menjadi gagasan dari rentan dari jembatan penyebrangan yang menghubungkan pada bangunan tersebut. Jembatan tersebut tidak akan berdiri jika bangunan tersebut runtuh. Dan juga, walaupun banyakdiberi jembatan yang memberikan kesan terbatasnya kapasitas daya angkut, mempertimbangkan sebagaimana umumnya jembatan undang-undang yang kuat dan jaringan yang kapabel untuk koordinasi dan kerjasama.

Dengan kuatnya mutivasi tersebut yang datang dari nilai-nilai dan kepentingan profesional, serta kerjasama diantara aktor institusi, hal tersebut adalah tujuan, konjungsi administrasi adalah teori yang berdiri dalam kewajaran sama sekali kontras dengan NPM. NPM menulis penekanan pada teori pasar, menekankan kepentingan pribadi dan kompetisi, baik dari barang utama dalam menjelaskan perilaku hubungan antar yuridiksi dari aktor dalam yuridiksi. Konjungsi nampaknya dikendalikan oleh nilai-nilai dan kepercayaan para profesional pelayanan publik, dan membawa secara halus dan pembelajaran pada naluri untuk membagi kerjasama kepada semua pihak. Pkok-pokok yang mendasari konjungsi adalah konsep para profesional dari kepentingan publik dan berkewajiban diantaranya pelayan publik untuk merepresentasikan tataran awal diluar sisi publik dari partikular yuridiksi. Pada hasil akhirnya adalah tidak hanya koorordinasi diantara variasi unit dari negara yang disartikulasi, tetapi kemunculan kembali dari representasi yang sarat makna adalah menyebarkan manfaat dari kantor terpilih batasan yuridiksinya menjadi sedikit relevan pada problem kebijakan. Kantor terpilih adalah siapa otoritas dan pengaruh termuat dalam batasan dari yuridiksi politik, memiliki sedikit jalan untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh counterpart mereka pada yuridiksi lainnya. Demikian pula warga kota boleh mendapatkan keinginan mereka yang direpresentasikan dalam keputusan, sebagai dampak mereka tingguhan dampakal hanya pada jembatan kunjungsi administrasi, dimana fungsional khusus memiliki pengetahuan dan perjanjian menjadikan kesadaran dari keputusan dalam yuridiksi lainnya, mengenali bagaimana keseluruhan itu berdampak pada yuridiksi mereka sendiri, dan memungut keuntungan dari perjanjian kerjasama yang menguntungkan untuk memastikan bahwa perhatian ditujukan pada hubungan antar yuridiksi.

Teori konjungsi administrasi bukanlah perenungan abstrak dari akademis. Hal tersebut merupakan dukungan sesungguhnya dari variasi studi empiris (lihat Frederickson 1999b:708) yang melaporkan bahwa tingginya rangking pemerintahan yang diangkat (kepala departemen dan dibawahnya) membuang-buang kira-kira 15 persen waktu hubungan mereka dalam aktifitas konjungsi. Hal itu adalah pembelajaran yang sedikit pada konjungsi administrasi. Politik dalam banyak pemberian yuridiksi mungkin menghasilkan dorongan penuh menentang kerjasama. Memberi interaksi personal yang tinggi secara alami, diantara unit administrasi adalah sesuatu yang sepele seperti halnya pertentangan personal diantara dua kepala departemen dapat menjadi potensi kesempatan yang kuat dan suksesnya dari konjungsi. Studi empiris mendukung bahwa teori administrasi konjungsi adalah sedikit tapi jauh membatasi besarnya area urban. Kemampuan konjungsi sangat berguna untuk menjelaskan dan membantu kita dalam memahami hubungan pemerintah dan masyarakat pada tingkat yang lebih besar pada pemerintah atau negara masih terbuka untuk digali.

Masih sama, ketika mengenal hal tersebut tersebut terbatas dan permualan alami dari dukungan empiris hal tersebut, teori dari konjungsi administrasi mendukung argumentasi Frederickson tentang reposisi dari administrasi publik. Kekacauan yang membaur dari peningkatan pembagian negara adalah membuktikan menjadi lahan yang subur pemikiran asli dalam dalam administrasi publik, dan menunjukkan bagaimana kerangka kerja asli pada administrasi publik dapat menjadi formula untuk membantu penjelasan dan tujuan dengan cepatnya perubahan hubungan antara negara dengan masyarakat.

V. Kesimpulan

Menghubungkan teori dan konsep dengan kata “governance” adalah peningkatan pentingnya pada lembaga pendidikan administrasi publik. Demikian masih ketika governance menjadi persamaan sebenarnya untuk manajemen publik dan administrasi publik, hal tersebut tidaklah persis secara jelas apakah governance tersebut. Pastinya, governance adalah pusat dari catatan kebutuhan untuk mengubah hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Pertumbuhan dari pembagian atau kesenjangan negara telah membawa tentang fundamen perubahan dlam proses dan sifat dari administrasi publik, mengubah hal tersebut mempunyai konsep alternatif dari apa yang sebaiknya pemerintah lakukan dan bagaimana sebaiknya jalan yang ditempuh untuk melakukan hal tersebut.Hal tersebut mendorong lembaga pendidikan administrasi publik untuk mencatat realitas terbaru dalam kerangka kerja intelektual mereka dan beragam upaya dilakukan untuk dibawa keluar dibawah payung kebohongan dari “governance”.

Diantara upaya tersebut, hal itu sangat mungkin untuk mengidentifikasi sedikitnya tiga kenyataan dari mengkonsepsikan governance; pertama governance adalah pengganti kata yang mudah untuk administrasi puual blik dan pelaksanaan kebijakan. Demikian, teori govenance adalah proyek intelektual usaha untuk menyatukan dari urutan-urutan variasi intelektual berjalan melewati literatur multidisiplin didalam kerangka kerja yang meliputi bidang area dari aktifitas pemerintah. Hal esensialnya adalah posisi yang dipancangkan oleh Lynn et al 2000,2001). Kedua, governance menyamakan pengelolaan atau pergerakan NPM. Hal ini adalah bukti-bukti khusus dalam hubungan negara dengan model westminster, yang mana NPM mengikuti dari usaha serius untuk mereformasi sektir publik melalui mendefinisikan dan menjustifikasi, apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan, dan menentukan provisi pelayanan public melalui penyerangan terhadp patologi birokrasi. Ketiga, Governance adalah tubuh dari teori yang terdiri dari hubungan sampingan, hubungan antar institusi, penurunan kedaulatan, pengurangan hal-hal penting dari batasan juridiksi, dan secara pembagian institusi secara umum.

Dari tiga pendekatan tersebut. Yang pertama adalah ambisius. Menyatukan besarnya literatur yang melebar melewati beberapa disiplion melalui penyaringan adalah tujuan utama dan metode dalam mendefinisikan yang terbaik agenda riset, merupakan gran proyek dalam bidang dan dari kompleksitas yang demikian besar. Jika sukses, hasilnya amat menyakinkan. Semua sasaran tercakup, sementara hal tersebut juga merupakan kelemahan, dari pendekatan governance. Targetnya terlalu besar, yang dicoba untuk dicocokan dengan apapun dengan batasan intelektual yang menyebabkan kerangka kerja kehilangan sifat hemat dan kejelasan. Difinisi dari governance adalah bidang dan termasuk yang mana menjalankan resiko banyak kehilangan makna., problemnya Lynn at al, secara implisit mengakuinya. Salah satu reviewer memiliki poin lebih (lowery) ketika mereka bergerak dari pemeriksaan definisi untuk bergulat dengan pembangunan model yang spesifik, Lynn at al, secara drastis mempersempit ruang lingkup governance. Dalam operasinya modelnya mendinginkan pada fokus satu variabel tergantung (kinerja agen atau outcame) dan secara berat mendasarkan pada model ekonometrik yang memanfaatkan pengaturan yang spesifik dari faktor input.

Sebagai alternatif, dan boleh jadi lebih intuitif, konsepsi governance melekat pada pergerakan reformasi manajemen global. Hubungan antara publik dan sektor privat menjadi semakin kabur dan pembuatan kebijakan tradional dan prosesnya diarahkan kembali dan sama sekali ditinggalkan, pertanyaan alami terbangun tentang tujuan dari governance, dan metode yang dipergunakan untuk menyempurnakan tujuan tersebut. Dari perpektif managerialism, yang terakhir memotong jantung konsep dari governance. Hal itu sulit sementara untuk melihat bagaimana untuk melihat pendekatan reformasi managemen yang spesifik salah satunya dengan banyaknya variasi seperti NPM, dapat memposisinya dirinya sebagaimana jawaban komprehensif dari semua pertanyaan tersebut.

Rasa-rasanya untuk membawa arus dari pembangunan teori didalam suatu pendekatan advokasi idologi governance; governance mencakup nilai nilai badan hukum dan prakteknya, dari sektor publik. Apapun motivasi sesuangguhnya (Kettl 2000,51) menyampaikan bahwa pergerakan reformasi manajemen global telah terlatih, yang mana pada gilirannyaakhir dari kewajaran politik, “banyak pemimpin negara mengajukan reformasi manajemen untuk membangun administrasi dan penyampaian pelayanan. Konsep Lynn et al, mungkin terlalu membidangi intelektual, tetapi konsep NPM dari governance mungkin terlalu sempit dalam perpolitikan. Piter dan pierre berpendapat NPM dan governance saling tumpang tindih, tetapi keduanya tidak dapat bermakna, bahwa keduanya adalah sama.


Hal ini ada dalam governance merupakan usaha untuk memahami hubungan sampingan, hubungan antar institusi dalam administrasi dalam konteks disartikulasi negara. Seperti halnya pendekatan lainnya, hal ini secara eksplisit berupaya untuk mengambil fakta dari pemabian negara kedalam gambaran penjelasan yang kohern. Hal itu kuat pada basis empiris,dan hal tersebut demikian besar memprediksi pada usaha mengidentifikasi pola sistematik dalam mengoservasi apa yang administrator nyata harus lakukan. Hal ini kontras dengan dengan pencarian untuk penyatuan urutan dalam apa temuan beberapa tinjauan literatur dikarakterisasikan melalui teori pluralism, atau pengenaan dari apa penemuan lainnya seperti kerangka kerja ideologi pada sektor publik (NPM). Meskipun progres meningkat pada bagian depan, pendekatan pada governance meninggalkan negara berkembang. Teori dari konjungsi administrasi menunjukkan kemungkinannya untuk pembangunan teori yang asli pada administrasi publik, yang memegang pertanyaan penting dari governance. Pendekatan ini rasa-rasanya menjaga persetujuan yang baik dari perjanjian, tetapi persetujuan yang baik dari pekerjaan ditinggalkan, dan menjadi dikerjakan jika janji tersebut dapat terpenuhi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar